"Oh, tidak. Biasanya saudariku suka muncul tiba-tiba. Tapi ah, sudahlah. Pemandangan matahari tenggelam itu terlalu sayang untuk dilewatkan."
Bayu tersenyum. "Setuju," sahutnya.
Mereka duduk di balik tembok yang lebih rendah dibanding tembok pembatas benteng di sekitarnya. Sepertinya dulu tempat itu digunakan untuk dudukan moncong meriam.
Dari situ terlihat jelas matahari yang berwarna jingga sudah setengahnya tenggelam di balik laut. Langit sedang bersih. Tidak ada awan-awan yang menghalangi pemandangan menawan itu.
"Indah sekali, ya," ucap Putih lirih. Tanpa sadar dia memegang pergelangan tangan Bayu.
"Benar. Kalau mau, kamu boleh mendatangi tempat ini setiap senja," sahut Bayu ketar-ketir. Dia bingung mau melepas atau membiarkan tangan Putih.
"Benarkah?" tanya Putih.
Keduanya bertatapan. Saat itulah Putih menyadari sedang memegang tangan Bayu. Dia pun buru-buru menarik kembali tangannya.
"Maaf, maaf,"
"Ti-tidak apa-apa, kok."
Saat saling menatap, Bayu menyadari ada sesuatu yang lain dari tatapan mata Putih. Putih jadinya salah tingkah dipandangi seperti itu.