Putih dan Hitam adalah nama sepasang hantu perempuan bersaudara. Kabarnya mereka meninggal karena hipotermia, entah benar atau tidak. Penyebab kematian tidak terlalu etis diperbincangkan di dunia hantu. Sama seperti menanyakan usia seorang wanita di dunia kita.
Sudah bisa tercitra dari namanya, Putih berparas cantik. Kulitnya putih bersih, bibirnya merah merona, matanya indah seperti bintang-bintang di langit, rambutnya hitam berkilau. Selain itu, Putih juga lemah lembut dan selalu tersenyum. Banyak hantu pria yang jatuh hati kepadanya.
Hanya saja niat hantu-hantu pria mengenal Putih lebih jauh mesti diurungkan jika ada Hitam di dekat Putih. Hitam bisa disebut sisi kontras Putih. Wajahnya hitam legam dengan mata yang selalu merah menyala. Perangainya kasar dan gemar berkelahi, bahkan dengan hantu pria sekalipun.
Tapi di balik sikap itu, Hitam sangat sayang dengan Putih, saudarinya. Perkelahiannya dengan hantu-hantu lain lebih sering disebabkan keinginannya untuk membela Putih dari gangguan hantu-hantu itu.
Putih dan Hitam tidak selalu melanglang buana bersama. Tapi setiap kali Putih mengunjungi tempat baru dan hantu-hantu pria berusaha mendekat karena terpana, Hitam selalu muncul tiba-tiba. Dia memandang pria-pria hantu itu dengan tajam lalu menyuruh mereka menjauh.
Sebagian langsung mundur teratur. Sebagian lagi yang punya nyali cukup tebal tidak gentar dengan ancaman Hitam. Ujung-ujungnya adu jotos pun tidak bisa dihindari. Hasil akhirnya sudah bisa ditebak. Ada yang menyerah setelah bertarung dua tiga jurus, ada yang ditendang sampai ke benua seberang, ada yang diikat mati pada pohon-pohon di sekitar tempat perkelahian. Belum pernah ada hantu yang berhasil mengalahkan Hitam selama ini.
Putih pun tidak keberatan dengan tingkah Hitam itu. Hantu-hantu pria memang suka usil. Ada yang malah terang-terangan menunjukkan niat jahat kepadanya.
Memang, beberapa kali Putih bertemu dengan hantu pria yang baik hati. Tapi lagi-lagi Hitam melarangnya berteman dengan mereka, karena menurut Hitam mereka hanya ingin mempermainkan Putih saja.
Putih tidak ingin mendebat, karena selama ini ramalan Hitam selalu terbukti benar.
Pada suatu senja, Putih terbang dengan cepat, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dalam sekejab mata. Pelabuhan, rumah kosong, benteng, villa dan tempat-tempat lain didatanginya. Dia ingin mencari tempat terbaik untuk menikmati senja hari ini.
Setelah berpindah tempat beberapa kali, dia pun memutuskan untuk tinggal sejenak di salah satu benteng peninggalan Belanda. Dari situ pemandangan senja terlihat cantik sekali, karena matahari yang sudah mulai berwarna kuning kemerahan sebentar lagi akan tenggelam ke dalam laut lepas.
Putih melayang ke bagian paling atas benteng. Ternyata di situ sudah ada hantu lainnya, hantu pria yang tampan dan kelihatannya sedikit pemalu.
Saat melihat Putih, hantu tampan itu sedikit terkejut.
"Ha-halo," sapanya.
"Hai," sahut Putih. "Maaf, aku pikir tidak ada hantu lain di sini," sambungnya.
"Oh, tidak apa-apa, kok. Ehm, namaku Bayu."
"Namaku Putih." Putih menyambut tangan Bayu, si hantu tampan. Keduanya bersalaman malu-malu.
Terlihat Bayu semakin terpesona dengan wajah Putih. Tapi dia berusaha menutupi perasaannya dengan mengalihkan kembali pandangan ke ufuk barat.
"Aku sudah bertahun-tahun menghabiskan senja dari tempat ini," ucapnya.
Sementara itu Putih menoleh ke kiri dan ke kanan. Biasanya ada yang segera muncul jika dia berada dekat hantu pria, tapi kali ini ....
"Mencari sesuatu?" tanya Bayu.
"Oh, tidak. Biasanya saudariku suka muncul tiba-tiba. Tapi ah, sudahlah. Pemandangan matahari tenggelam itu terlalu sayang untuk dilewatkan."
Bayu tersenyum. "Setuju," sahutnya.
Mereka duduk di balik tembok yang lebih rendah dibanding tembok pembatas benteng di sekitarnya. Sepertinya dulu tempat itu digunakan untuk dudukan moncong meriam.
Dari situ terlihat jelas matahari yang berwarna jingga sudah setengahnya tenggelam di balik laut. Langit sedang bersih. Tidak ada awan-awan yang menghalangi pemandangan menawan itu.
"Indah sekali, ya," ucap Putih lirih. Tanpa sadar dia memegang pergelangan tangan Bayu.
"Benar. Kalau mau, kamu boleh mendatangi tempat ini setiap senja," sahut Bayu ketar-ketir. Dia bingung mau melepas atau membiarkan tangan Putih.
"Benarkah?" tanya Putih.
Keduanya bertatapan. Saat itulah Putih menyadari sedang memegang tangan Bayu. Dia pun buru-buru menarik kembali tangannya.
"Maaf, maaf,"
"Ti-tidak apa-apa, kok."
Saat saling menatap, Bayu menyadari ada sesuatu yang lain dari tatapan mata Putih. Putih jadinya salah tingkah dipandangi seperti itu.
"Kamu bukan hantu biasa, Putih," kata Bayu.
"Maksud kamu?" Putih menatap Bayu dengan wajah tidak mengerti.
"Saudari kamu ... siapa pun dia, apakah dia selalu muncul atau menghilang tiba-tiba?"
Putih mengangguk.
"Entah kamu sadari atau tidak, saudari kamu itu sebenarnya adalah jiwa yang lain dari tubuh manusiamu. Dulu kamu hidup dengan dua jiwa, sehingga saat mati, kalian menjadi dua jiwa yang berbeda. Tapi, kalian tidak akan terpisah jauh, karena telah bertahun-tahun terpaut dalam satu tubuh."
Mulut Putih membulat. Ini penjelasan yang paling masuk akal dari pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam batinnya selama ini. Â "Kenapa kamu bisa tahu?" tanyanya.
"Ya, karena aku juga sama seperti kamu. Aku pernah dilatih oleh salah satu hantu sepuh penghuni gunung Kilimanjaro untuk mengenali hantu-hantu seperti kita."
Putih mengangguk-angguk pelan.
"Lalu ... di mana Hitam sekarang?" tanyanya.
Bayu mengangkat bahu. "Sedang berada di tempat lain, mungkin. Tapi biasanya saat diperlukan dia pasti muncul, bukan?"
"Benar. Mungkin ini alasan aku merasa langsung nyambung sama kamu, Bayu. Kita ternyata punya nasib sama. Terus, bagaimana dengan kamu? di mana saudaramu sekarang? dan bagaimana karakternya?"
Bayu tersenyum. "Dia sedang tertidur pulas," sahutnya. "Kita sedang duduk di atas punggung tangannya saat ini."
Putih terkejut. Spontan dia berdiri dan melihat ke arah tempat duduknya.
Benar. Setelah diperhatikan baik-baik, rupanya ada hantu raksasa sedang tertidur pulas di belakang mereka. Tubuhnya hitam legam dan penuh bulu-bulu kasar. Tangannya terjulur ke depan. Masih ada Bayu yang duduk dengan tenang di situ. Bagaimana mungkin dia melewatkan pemandangan mengerikan itu?
"Namanya Bhala, saudaraku. Putih? Tidak perlu takut seperti itu, dia ini sebenarnya--"
Ucapan Bayu terhenti, karena di belakang Putih tiba-tiba muncul sosok hantu perempuan lainnya. Tubuhnya hitam legam dengan mata merah menyala.
"Kamu baik-baik saja, Putih?" tanya Hitam dengan suara lantang dan serak.
"Aku, aku baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut karena-"
Terdengar suara gemuruh. Sosok hantu raksasa itu bergerak dan berdiri dengan cepat. Tingginya nyaris empat kali lipat tinggi 3 hantu di depannya. Sepertinya suara Hitam barusan mengganggu tidurnya.
"Bhala, sudah, tidak apa-apa." Bayu mencoba menenangkan Bhala yang sedang menatap dingin ke arah Hitam.
"Hantu jelek! Jangan coba-coba menggangu saudariku!" teriak Hitam.
"Heh! Hantu jelek kurang ajar! Sudah datang tanpa izin, berani marah-marah lagi!" balas Bhala.
Keduanya mulai adu urat leher. Kedua hantu lainnya, Putih dan Bayu, mencoba menenangkan, tapi mereka tidak digubris sama sekali.
Lama kelamaan suara pertengkaran Hitam dan Bhala meninggi.
Dan peristiwa yang tidak diinginkan pun terjadi. Mereka mulai berkelahi dengan sengit. Hitam nampak trengginas terbang ke sana kemari sambil meninju keras punggung atau wajah Bhala yang terbuka tanpa pertahanan. Walau bertubuh besar, Bhala tetap bisa mengimbangi manuver Hitam. Pada satu pukulan, dia berhasil membuat Hitam terpental jauh.
Hitam jadi semakin beringas. Dia lalu terbang dengan cepat menabrak kaki Bhala. Terdengar suara debum keras saat Bhala terjatuh. Tapi dia segera bangun kembali dan melanjutkan perkelahian.
Putih dan Bayu hanya bisa menonton pasrah. Tapi Bayu segera menyadari sesuatu. Langit telah gelap. Dia lalu menggamit lengan Putih. "Kita kehilangan momentum matahari tenggelam tadi, Putih."
Perhatian Putih teralih, lalu menarik napas panjang dan menatap lesu ke arah barat.
Bayu memikirkan sesuatu. "Tapi aku tahu tempat lain yang juga apik untuk menikmati matahari tenggelam. Kita terbang ke arah barat beberapa ribu kilometer. Bagaimana? Mau ikut?"
Bayu membuka telapak tangannya ke arah Putih. Hantu manis itu pun tersenyum kembali.
"Sepertinya ide bagus. Tempatnya di mana? Benteng kuno, pantai eksotik?" sahut Putih sembari menggenggam tangan Bayu.
"Bukan. Lantai 16 sebuah hotel mewah di semenanjung India."
"Benarkah?"
Bayu mengangguk mantap.
"Tapi ...," Putih melirik ke belakang. "Bagaimana dengan mereka?"
"Mereka akan baik-baik saja. Kalau sudah capek nanti berhenti sendiri," sahut Bayu lalu tertawa kecil. Putih ikut tertawa.
"Baiklah... Kalau begitu, ayo antar aku ke sana. Jangan pakai lama," ucapnya mulai berani bernada manja.
Mereka pun bergandengan tangan dan melesat ke angkasa. Sepertinya sebuah kisah cinta baru akan segera terjalin di dunia para hantu.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H