Perang tagar (hashtag war) bisa diartikan sebagai adu kuat antara dua kubu atau lebih di lini masa media sosial (selama ini perang tagar lebih identik dengan medsos twitter) dengan tagar sebagai senjatanya. Semakin lama tagar bertengger di tangga trending topic, semakin kuat kubu yang mengusung tagar tersebut mendominasi pembicaraan (baca: menang)
Dalam percakapan di internet, dominasi ini bisa diartikan sebagai tingginya frekuensi tagar tersebut dibicarakan oleh warganet.
Mesin twitter memiliki algoritma untuk mengindentifikasi lonjakan pembicaraan yang menyertakan tagar tertentu. Jika lonjakan pembicaraan ini terjadi dalam waktu yang singkat, maka besar kemungkinan tagar tersebut akan masuk ke kolom trending topic.
Semakin lama dan masif dibicarakan, semakin besar peluang tagar tersebut bertahan bahkan naik ke puncak trending topic.
Kebiasaan warganet untuk mengintip trending topic terlebih dahulu sebelum mulai berselancar di lini masa membuat tagar yang sudah berada di tangga trending topic semakin tinggi peluang ekskalasinya.Â
Hal ini terjadi karena kebanyakan warganet yang tertarik pada isu tersebut akan ikut berkicau sembari menyematkan tagar yang sama di kicauannya. Jadi jika sebuah tagar bertahan lama di tangga trending topic, artinya percakapan tentang tagar tersebut (bisa pro maupun kontra) sangat intens terjadi.
Sebenarnya algoritma dan habit warganet ini membuat perang tagar tidak mudah dilakukan. Membuat ekskalasi pembicaraan tentang tagar tertentu menjadi masif dalam waktu singkat adalah bagian terberatnya.
Inilah yang sekaligus membuat perang tagar ini bisa menjadi bias. Ekskalasi tagar tersebut seringkali tidak lagi organik tetapi sudah jadi tunggangan kepentingan-kepentingan tertentu (ideologi, politik dan lain-lain).
Ekskalasi tagar yang organik benar-benar terjadi jika warganet secara masif bersuara lantang tentang isu-isu tertentu. Tapi karena lalu lintas pembicaraan di linimasa begitu crowded, mesti ada kicauan yang terpadu untuk mengangkat sebuah tagar menjadi trending topic.Â
Oleh karena itu, sumber daya berupa jaringan pertemanan yang luas menjadi modal yang sangat berharga. Makanya, akun-akun selebtwit yang punya banyak follower cenderung lebih mudah menggerakkan sebuah tagar untuk naik ke tangga trending topic.
Inilah karakteristik dunia maya yang menjadi jalan masuk oknum besar yang punya kepentingan. Mereka memang tidak sumber daya sosial berupa jaringan pertemanan, tetapi ada sumber daya lain yang juga bisa digunakan: duit! Dengan modal finansial, oknum tersebut bisa merekrut para selebtwit, juga menggunakan akun-akun bot untuk mengangkat tagar tertentu sesuai kepentingan mereka.
Jadi saat ada tagar tertentu yang menjadi trending, belum tentu tagar tersebut adalah persepsi mayoritas dari warganet. Bisa saja ada kepentingan tertentu yang menunggangi tagar tersebut.
Cara mengetahuinya sebenarnya mudah. Saat sebuah tagar sedang viral atau trending, saya biasa meluangkan waktu untuk menelisik tagar tersebut.Â
Jika banyak akun mencuitkan tagar tersebut dengan twit yang redaksinya sama (bahkan sampai titik komanya), kemungkinan besar akun tersebut adalah bot atau akun palsu.
Kadang saya juga mendapati twit giveaway yang memberikan kuis tertentu dengan hadiah uang elektronik (atau hadiah lainnya) dan mewajibkan semua yang menjawab mencantumkan tagar yang sedang viral tersebut.Â
Padahal, pertanyaan kuis dan tagar yang wajib dicantumkan tidak nyambung sama sekali. Ini artinya ada upaya non-organik untuk menaikkan tagar tersebut
Memang ada juga tagar yang digerakkan oleh pemilik brand, terkait dengan bisnis mereka atau tagline tertentu. Pemilik brand biasanya menggunakan sumber daya mereka untuk merekrut influencer agar membantu promosi brand atau produknya melalui cuitan bertagar.Â
Tapi untuk tagar komersil seperti ini tidak ada masalah, karena selain tujuannya untuk bisnis, pada umumnya warganet juga dapat membaca pergerakan tagar secara gamblang.
Jadi, di mana tempat para warganet "netral" dalam perang tagar tersebut?
Pembaca yang punya akun twitter mungkin mengetahui beberapa waktu lalu di jagat twitter terjadi polemik antara beberapa akun pro Jokowi dan Prof Gus Nadirsyah Hosen atau lebih dikenal dengan akun @na_dir.Â
Polemik tersebut terjadi pasca perang tagar antara kubu hater dan lover Jokowi. Tagar-tagar yang jadi senjata antara lain #JokowiKingofPrank, #SayaPercayaJokowi dan sebagainya.
Prof. Nadir memang belakangan ini sering memberi kritik terhadap tata kelola komunikasi pemerintah dalam penanganan Covid-19, termasuk pada orkestrasi tagar (meminjam istilah Prof Nadir) yang digerakkan oleh akun-akun buzzer.Â
Jika meninjau kembali riwayat kicauan pakar hukum yang berkarya di Australia ini, kritik-kritik tersebut sebenarnya cukup objektif. Hanya karena berhadapan dengan para lover, ya masalahnya akhirnya ditarik kesana-kemari. Tapi bukan ini poin-nya.
Yang menarik adalah pada salah satu cuitan, Prof. Nadir memberi label "netizen polos" pada warganet yang tidak mengerti arah orkestrasi tagar ini dan sekedar ikut-ikutan mencuitkan tagar tersebut.
Cuitan ini pun mengundang banyak reaksi dari warganet.
Saya sendiri merasa "netizen polos" ini label yang sangat relatif, tergantung orangnya. Saat terjadi perang tagar, bisa jadi memang secara polos larut dalam perang tersebut.Â
Tapi bisa jadi juga memahami arah perang tagar hanya karena merasa terikat secara emosional dengan salah satu kubu, akhirnya ikut andil dalam perang tagar tersebut.Â
Peduli amat, si selebtwit yang menggerakkan tagar itu dibayar politisi atau tidak, yang penting saya sudah ikut rame, ikut menyampaikan pendapat, demikian kira-kira dalam benak si warganet.
Dan jika dipikir-pikir lagi, para pemilik akun twitter sebenarnya sudah sangat paham dengan permainan tagar dan rekayasa di balik permainan tersebut.Â
Kalau pun ada yang benar-benar polos, mungkin mereka adalah pemilik akun twitter baru atau yang memang benar-benar blank tentang politisasi dunia maya.
Inilah yang kemudian menginspirasi judul artikel ini. Saat kepentingan besar dua kubu bentrok di lini masa, warganet kecil yang jadi korban. Suaranya tidak terdengar karena hanya serupa suara lirih di tengah suara riuh kubu-kubu yang berperang tagar.Â
Pilihan lain, ikut dalam perang tagar untuk untuk menyatakan eksistensi, tetapi dengan konsekuensi jadi tunggangan pihak lain yang punya kepentingan di balik tagar yang melambung. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H