Prof. Nadir memang belakangan ini sering memberi kritik terhadap tata kelola komunikasi pemerintah dalam penanganan Covid-19, termasuk pada orkestrasi tagar (meminjam istilah Prof Nadir) yang digerakkan oleh akun-akun buzzer.Â
Jika meninjau kembali riwayat kicauan pakar hukum yang berkarya di Australia ini, kritik-kritik tersebut sebenarnya cukup objektif. Hanya karena berhadapan dengan para lover, ya masalahnya akhirnya ditarik kesana-kemari. Tapi bukan ini poin-nya.
Yang menarik adalah pada salah satu cuitan, Prof. Nadir memberi label "netizen polos" pada warganet yang tidak mengerti arah orkestrasi tagar ini dan sekedar ikut-ikutan mencuitkan tagar tersebut.
Cuitan ini pun mengundang banyak reaksi dari warganet.
Saya sendiri merasa "netizen polos" ini label yang sangat relatif, tergantung orangnya. Saat terjadi perang tagar, bisa jadi memang secara polos larut dalam perang tersebut.Â
Tapi bisa jadi juga memahami arah perang tagar hanya karena merasa terikat secara emosional dengan salah satu kubu, akhirnya ikut andil dalam perang tagar tersebut.Â
Peduli amat, si selebtwit yang menggerakkan tagar itu dibayar politisi atau tidak, yang penting saya sudah ikut rame, ikut menyampaikan pendapat, demikian kira-kira dalam benak si warganet.
Dan jika dipikir-pikir lagi, para pemilik akun twitter sebenarnya sudah sangat paham dengan permainan tagar dan rekayasa di balik permainan tersebut.Â
Kalau pun ada yang benar-benar polos, mungkin mereka adalah pemilik akun twitter baru atau yang memang benar-benar blank tentang politisasi dunia maya.
Inilah yang kemudian menginspirasi judul artikel ini. Saat kepentingan besar dua kubu bentrok di lini masa, warganet kecil yang jadi korban. Suaranya tidak terdengar karena hanya serupa suara lirih di tengah suara riuh kubu-kubu yang berperang tagar.Â
Pilihan lain, ikut dalam perang tagar untuk untuk menyatakan eksistensi, tetapi dengan konsekuensi jadi tunggangan pihak lain yang punya kepentingan di balik tagar yang melambung. (PG)