"Tadi aku tanya, mau ke mana, dia jawab ke warung depan, lalu aku disuruh naik saja karena pintu kamar tidak terkunci."
Rara bergidik ngeri. "Jangan-jangan ini semacam tanda bentar lagi aku meninggal."
"Huss! Aku sih malah tiba-tiba langsung ingat Mbah Enteng yang tinggal dekat rumah dulu. Kamu ingat, gak?"
Rara mengangguk lalu mata bolanya membesar. "Naah, itu dia. Bisa jadi, bisa jadi. Cewek yang suka sama kamu muncul lagi. Apalagi dia mungkin tahu kamu habis bertengkar sama yayang."
Wajah tegang Rara langsung berganti dengan wajah centil, wajah sehari-harinya. Aku lebih suka wajah versi itu. Aku mengangkat bahu. Tadi sebelum ke sini aku memang juga curhat tentang pertengkaranku dengan Almirah.
Suara gerimis yang mulai menderas sejenak mengalihkan perhatian kami.
"Ra, air panas di dispenser nyala tidak? Bikinin kopi dong."
"Nanti dinyalakan, tidak lama kok. Oke, aku bikinin kopi. Tapi sebentar bantu kerja tugas kalkulus ya," sahutnya. Anak ini memang paling jago soal todong menodong.
"Siap! Apa sih yang enggak buat tuan putri."
Rara terkekeh.
Sambil menunggu air dalam dispenser panas dan kopi diracik, aku pun membaringkan badan ke atas kasur yang empuk dan mencoba memejamkan mata. "Eh, Ra, tapi tadi kamu tidak kenapa-kenapa, kan? Tidak ada yang aneh?" tanyaku.