Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gema

10 November 2019   20:44 Diperbarui: 10 November 2019   21:04 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari http://zeromagecuador.com/

Anna mendengar suara memanggil-manggil namanya dari atas sana.

Anna ...       

Anna ...

berkali-kali.

Gadis malang itu pun menengadah untuk mencari asal suara. Namun selain plafon putih kamar perawatan dan lampu yang temaram, tidak ada lagi yang lain di situ.

Salah ...

Pada akhirnya dia melihat wajah Jordi, kekasihnya di situ. Wajah itu tersenyum kepadanya. Anna tak berkedip. Lalu sekonyong-konyong wajah tampan itu berubah menjadi mengerikan. Matanya terkatup kaku lalu tertutup darah merah segar, persis seperti terakhir kali dia melihatnya di atas aspal yang panas terbakar matahari.

Anna pun berteriak sejadi-jadinya memanggil nama kekasihnya.

Saat membuka mata dia kembali terkejut. Jordi duduk di sisi tempat tidurnya. Dia nampak sehat dan bugar, mengenakan kemeja biru muda favoritnya. Wajahnya juga setampan biasanya. Anna menggeser kepalanya dan tersadar kalau sejak tadi Jordi menggenggam telapak tangan kananya.

"Jordi, kamu di sini?" suara Anna terdengar ragu.

"Iya, Sayang? Kamu baik-baik saja kan?" sahut Jordi dengan suara baritonnya.

Anna mengangguk. Dia kelihatan masih tak percaya dengan penglihatannya.

"Apa yang terjadi? Apa kita di surga? Aku merasa damai sekali di sini. Aku merasa ... ingin tidur dengan pulas sejenak, aku letih sekali."

Jordi tersenyum, "Mungkin, karena suster baru saja memberimu obat penenang, Sayang. Tidurlah dengan tenang. Aku akan --"

"Tidak, jangan pergi!" sergah Anna. Dia menggenggam tangan Jordi lebih kuat.

"Aku tidak kemana-mana, kok. Sayang, kamu yang akan kembali ..."

"Jordi, bawa aku. Bawa aku, Sayang."

"Kita sekarang berbeda ..."

"Aku tahu. Tapi apa kamu lupa janji kita? Bersama selamanya, sehidup ... semati. Aku tidak bisa membawamu kembali. Bagaimana kalau kamu yang membawaku?"

Jordi menatap mata Anna dalam-dalam.

***

Jean mendengar suara memanggil-manggil namanya dari atas sana.

Jean ...

Jean ...

berkali-kali.

Gadis itu tinggi semampai, wajahnya sedikit tirus, berhidung mancung dan mata lentik sempurna. Dia pasti gadis yang jadi rebutan para pria.

Suara memanggil-manggil itu kini telah berganti dengan suara lain. Kini lebih gelap dan mengerikan

Bunuh ...

Bunuh ...

berkali-kali.

Jean berjalan menyusuri koridor dan melewati pintu demi pintu kamar perawatan.

"Selamat malam, Suster," seorang dokter muda menyapanya. Tapi dia terus melangkah, melewatkan sapaan itu begitu saja. Dia baru berhenti di depan salah satu kamar perawatan.

Pintu terbuka, Jean terus melangkah mendekati ranjang perawatan Anna. Gadis malang itu sendirian, dan tertidur pulas.

Sempurna.

***

Dua hari kemudian, koran dan media elektronik merilis berita yang mengejutkan. Seorang perawat terbukti mencelakai pasiennya dengan pemberian obat yang overdosis. Pasien tersebut adalah korban kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa kekasihnya. Namun karena ulah si perawat, nyawa pasien tak tertolong lagi. Anehnya, perawat tersebut berkali-kali berkata dia tidak sadar sepenuhnya saat melakukan kejahatan tersebut.

Pihak Rumah Sakit telah melimpahkana sepenuhnya kasus itu kepada kepolisian untuk penyelidikan lebih lanjut.

***

Jean mendengar suara memanggil-manggil namanya dari atas sana.

Jean ...

Jean ...

berkali-kali.

Gadis malang itu pun menengadah untuk mencari asal suara. Namun selain plafon dekil ruang tahanan tidak ada lagi yang lain di situ. Jean seperti sangat familiar dengan suara tersebut.

Dia lalu menyadari suara itu mirip suara pasiennya yang ...

"Maaf, Suster."

Jean tercekat. "Mbak Anna?!"

 ------

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun