Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ampas Kopi

12 April 2019   17:28 Diperbarui: 12 April 2019   17:31 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali menghirup aroma penghabisan kopi hitam di ujung pagi, aku menatap ampas kopi yang tersisa di dasar cangkir lalu bertanya padanya,

"Pada siapakah senyuman pertama hari ini kuberikan?" dalam hati.

Tentu saja ampas kopi yang asam itu ragu-ragu menjawabnya. Aku pun tidak mengetahui jawabannya, sampai aku menyapa penumpang pertama dan memberikan senyum setulus hati padanya. Jika aku beruntung, penumpang itu adalah gadis manis berbibir tipis atau penumpang yang tidak pelit memberi tip. Walau lebih sering penumpang pertama itu adalah remaja yang minta diantar sampai gerbang sekolah atau bapak-bapak pegawai yang tidak mau terlambat absen. Tapi semua aku syukuri apa adanya.

---

Pada ujung pagi yang lain, pertanyaan yang sama aku sampaikan pada ampas kopi di dasar cangkir.

Pada siapakah senyuman pertama hari ini kuberikan?

Seperti biasa, ampas kopi diam membisu. Tapi beberapa detik kemudian, aku melonjak kaget saat ampas kopi menyahut, "Pada cinta sejatimu, jodoh dari Tuhan untukmu."

Saking kagetnya, cangkir kopi sampai terlepas dari jari-jariku dan jatuh ke lantai. Cangkir malang itu terbelah tiga menyebabkan ampas kopi berceceran kemana-mana, kontras dengan warna ubin teras. Cangkir itu jadi seperti seorang ksatria perang yang ambruk tertembak musuh, meninggalkan jejak darah di mana-mana.

Aku yakin tidak salah pendengaran. Ampas kopi itu baru saja bersuara kepadaku dengan suara sedikit serak, mirip kakek-kakek yang sedang menasihati cucunya.

"Mas Priyo, ada apa?" suara seriosa menimpali dari sisi teras indekostku. Itu suara Ijah. Kepalanya muncul dari balik teralis jendela kamar. Rumah kami jaraknya memang hanya sejauh dua langkah kaki, jadi dia pasti bisa mendengar suara cangkir kopi yang jatuh tadi.

"Nggak apa-apa, Jah! Tadi cangkir kopiku jatuh," jawabku dengan intonasi dingin. Rasanya malas pagi-pagi sudah berurusan sama emak-emak bawel ini.

"Mas Priyo nggak kenapa-napa?" tanyanya lagi.

"Enggak," sahutku setengah berteriak.

"Mau dibantu, Mas?"

"Enggak!"

"Yakin?"

"Enggak! Eh, iyaa."

Ijah pun tertawa geli, tapi aku ogah menanggapi.

Pecahan cangkir kopi aku naikkan ke atas meja, lalu keset kaki dari kaos bekas aku hamparkan di atas ampas kopi yang berceceran. Suara berisik Ijah tidak terdengar lagi. Dia pasti sudah menghilang dari situ untuk mengurusi keperluan sekolah si Bojes, anak semata wayangnya.

Ijah tetangga terdekatku ini, adalah seorang janda beranak satu. Suaminya meninggal karena kecelakaan sejak si Bojes berusia dua tahun. Sejak itu Ijah berjibaku membiayai kehidupan keluarga kecil mereka dengan membuka usaha laundry kecil-kecilan.

Yang membuat aku dan juga sebagian tetangga kurang suka dengan kehadirannya adalah kadar cerewetnya yang sedikit over, kombinasi dengan sifat kepo yang di atas ambang kewajaran. Oleh karena itu tidak banyak tetangga yang betah berlama-lama ngobrol dengannya. Aku juga seperti itu. Kalau pun bersedia ngobrol panjang lebar, itu pasti basa-basi kalau aku mau pinjam sesuatu atau mau ngutang ongkos laundry dulu.

---  

Setengah jam kemudian, aku sudah rapi dan wangi, siap menyusuri jalan-jalan ibukota dengan sepeda motor dan jaket hijau cerah sebagai atribut dinasku. Sejak usai kontrak di salah satu perusahaan, aku memilih menyambung hidup sebagai driver ojek online. Rupanya jika dilakoni dengan tekun, penghasilan profesi yang satu ini cukup menggembirakan. Aku jadi lebih punya banyak tabungan dibanding saat masih bekerja di perusahaan dulu. Akhir-akhir ini aku malah punya niat, jika tabunganku nanti sudah cukup memadai, aku akan pulang kampung untuk membuka toko kelontong di sana.

Sudah hampir sejam aku menyusuri jalan Pakubuwono dan jalan Dahlia. Di sepanjang jalan-jalan ini banyak rumah dikontrakkan. Kemudian aku menuju ke arah perkantoran di jalan Harapan dan sekitarnya, tapi orderan dari pelanggan belum ada yang nyantol ke aplikasi driver-ku, tidak seperti biasanya. Sesiang ini biasa aku sudah mendapat dua atau tiga orderan dari karyawan atau karyawati yang hendak berkantor.

Di luar itu, yang bikin penasaran luar biasa adalah "suara ghaib" ampas kopi pagi tadi. Senyuman pertamaku hari ini yang biasa aku hadiahkan untuk penumpang pertama akan menjadi senyuman untuk cinta sejatiku. Memang orderan di awal hari biasa akan didominasi oleh cewek-cewek kantoran. Anehnya, entah kebetulan atau bukan, sampai siang ini aku belum juga mendapatkan satu penumpang pun.

Atau aplikasi lagi bermasalah ya?

Aku pun menepikan motor dan ngetem di dekat gerobak penjual batagor. Saat mengecek grup Whatsapp sesama driver ojol, aku lihat sepertinya percakapan biasa saja. Laporan jalan macet, satu dua kabar gembira karena ada ada penumpang murah hati memberi tip dan topik lainnya, tapi tidak ada yang mengeluh tentang jaringan atau aplikasi sedang bermasalah.

Saat itulah handphoneku berbunyi, penanda ada orderan dari pelanggan yang masuk. Namanya ... Lestari.

Jantungku rasanya berdetak lebih kencang.

Dari nama sepertinya orangnya cantik dan baik. Lestari ini adalah pelanggan pertama, jadi dia akan memiliki senyum pertamaku hari ini. Apakah itu artinya dia itulah cinta sejatiku? 

"Sesuai titik pak ya"

Lestari mengirimkan chat via aplikasi. Aku tersadar sudah melamun terlalu lama. Tempatnya menunggu di depan sebuah minimarket, tidak jauh dari sini. Aku pun mengirim pesan balasan

"OK ditunggu," lalu menghidupkan sepeda motor dan menuju ke titik penjemputan.

Dari kejauhan aku melihat seorang wanita menunggu di depan minimarket menenteng dua plastik belanja besar.

Apakah dia itulah cinta sejatiku? Pertanyaan yang sama terulang lagi.

Ah, jangan sampai gagal fokus. Membuat pelanggan puas, itu tujuan utamanya. Masalah jodoh atau bukan, itu urusan belakangan.

"Bu Lestari?" aku memanggil setelah sepeda motor berhenti di dekat tempatnya berdiri. Dia sedang terpaku ke layar gawai dengan posisi menghadap ke sisi jalan yang lain jadi tidak menyadari aku sudah sampai.

Saat berbalik, dia terkejut. Begitu juga aku.

"Ijah!?"

"Mas Priyo?"

"Lestari siapa?" tanyaku penasaran.

"Lah, itu kan namaku, Mas. Lestari Marsijah. Dipanggil Ijah," sahutnya. Ekspresi terkejutnya perlahan sirna, berganti rasa girang.

"Wah, jodoh memang gak kemana ya, Mas. Hihihi."

Aku jadi bingung mau memberi senyum tulus atau mau dongkol jadinya.

Ah, ampas kopi, kamu kalau bercanda jangan suka kelewatan!

*******

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun