Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cemburu] Ada Cinta di Balik Kabut

4 November 2018   11:35 Diperbarui: 4 November 2018   11:47 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari https://www.shutterstock.com

Pagi yang nyaris beku memanggil kabut turun ke lereng-lereng bukit, menyelimuti jalanan, rumah penduduk dan setiap sudut desa. Sejauh mata memandang hanya nuansa putih dengan latar samar-samar, seperti lautan kapas yang bersenyawa dengan udara.

Aku duduk di teras rumah pak desa sambil menyesap kopi hitam yang dalam waktu semenit dua menit telah kehilangan hampir seluruh kehangatannya. Sarung pinjaman yang sejak tadi menyelimuti tubuhku dari leher sampai telapak kaki berjuang mengusir hawa dingin pergi jauh-jauh.

Pak desa beberapa menit lalu pamit karena ada undangan menghadiri musrembang di desa sebelah.  Setelah itu Mita, anak bungsu pak desa beberapa menit lalu baru saja tuntas menyapu teras rumah. Sebelumnya istri pak desa membawa dua kopi hitam ke teras rumah, untukku dan untuk Boris, teman sekantor. Hanya saja Boris masih memilih meneruskan mimpi dibanding merayakan pagi.

Perusahaan kami bergerak dalam bidang pengembangan SDM dan saat ini sedang menggarap salah satu proyek kemitraan dengan pemerintah. Aku dan Boris ditugaskan untuk membuat assessment di desa sasaran selama lima hari.

Pagi ini adalah pagi keempat kami di desa ini. Aku sangat menikmati menit demi menit pagi, saat kabut mulai merajai desa. Lalu seiring matahari yang mulai naik ke singgasananya untuk mengedarkan cahaya dan panas, kabut pun perlahan-lahan menipis dan menguap lenyap. Bukan itu saja, setelah menipis, kabut pun menyingkap pemandangan lain tepat di seberang jalan di depan rumah pak desa. Dari dalam rumah mungil itu muncul sosok berparas ayu, berambut panjang dalam balutan seragam guru. Gadis manis itu bernama Nurlela.

Seperti kebanyakan gadis desa lainnya, Nurlela tidak mau berlama-lama beramah tamah pada orang baru. Tapi dari pertemuan pertama dua hari lalu, aku langsung tahu, dia wanita yang supel, hangat, baik hati dan juga smart. Rasanya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.

Pertemuan kedua terjadi kemarin. Kemarin sore, sepulang dari kantor desa aku melihat Nurlela sedang berdiri di depan pagar rumah sambil menenteng keranjang belanja kosong. Aku pun menyapa dan menanyakan tujuannya,

"Mau ke pasar di desa sebelah, Mas. Ini lagi nunggu ojek," sahutnya.

Wah, kebetulan. Aku juga mau ke arah luar desa di jalan poros untuk membeli beberapa keperluan, sekaligus mencari sinyal internet untuk mengirim laporan. Di dalam desa, jangankan sinyal internet, sinyal telepon biasa pun naik turun tidak keruan. Arah ke jalan poros kebetualan searah dengan desa tetangga tempat pasar yang dimaksud Nurlela. Di sana memang pasarnya buka sampai sore.

"Eh, kebetulan aku mau ke jalan poros. Aku antar, yuk. Nanti pulangnya aku singgahi lagi."

Nurlela berpikir sejenak. "Ah, gak usah, Mas. Ngerepotin. Gak enak juga dilihat warga," jawabnya.

Aku maklum. "Gak ngerepotin, kok. Tapi ya udah, kalau mau nunggu ojek silahkan," sahutku.

Aku menyusul Boris yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Setelah mengganti baju, aku langsung meminjam sepeda motor pak desa untuk menuju ke jalan poros.

Di depan jalan, Nurlela masih terlihat menunggu angkutan ojek. Aku kembali menawarkan tumpangan, "Ayuk! Nanti kalau kelamaan, pasarnya bisa tutup loh..."

Nurlela sepertinya berubah pikiran. Walau masih nampak ragu-ragu, pada akhirnya dia bersedia duduk di boncengan motor.

Perjalanan selama 20 menit ke arah pasar tidak terasa karena di jalan kami mengobrolkan banyak hal... termasuk pembicaraan yang sifatnya pribadi. Aku jadi tahu, kalau Nurlela dua tahun lalu hampir menikah, tapi calon suaminya ternyata menghamili anak orang, sehingga dipaksa menikahi orang lain dan saat ini menetap di salah satu tempat di Kalimantan. Sejak saat itu dia cenderung menutup diri terhadap laki-laki, padahal cukup banyak pria yang menaruh hati padanya.

Aku percaya sih, karena baru bertemu beberapa kali saja, aku sudah merasa jatuh hati juga.

"Mas Pram sendiri bagaimana? Sudah berkeluarga atau belum?" tanyanya setelah pembicaraan kami terjeda beberapa detik.

Pertanyaan itu tidak keburu dijawab, karena tahu-tahu sepeda motor telah berada di lokasi pasar yang dituju Nurlela. Masih nampak satu dua aktivitas transaksi, tapi sudah lebih banyak lapak jualan yang tutup.

"Makasih ya, Mas, sudah ngerepotin," ucap Nurlela setelah turun dari boncengan motor.

"Ah, enggak kok. Nanti pulangnya aku singgahi lagi ya,"

"Mm... Mas Pram lama nggak?"

"Nggak, kok. Cuma belanja dikit, sama kirim laporan ke kantor saja."

"Di sini banyak ojek kok, Mas. Nanti kalau sudah selesai belanja mas Pram belum balik, aku naik ojek saja."

Aku sebenarnya mau sedikit ngotot tapi yang keluar dari mulut malah, "Oh gitu. Ya udah, Nur. Aku lanjut dulu kalau gitu..."

Nurlela pun mengangguk sambil pasang senyum yang bisa bikin diabetes melitus saking manisnya.

Di sepanjang perjalanan kemudian aku bersiul-siul riang. Bahagia sekali rasanya bisa sedikit lebih dekat dengan gadis itu. Aku pun bergegas memenuhi segala keperluan begitu sampai di salah satu spot di jalan poros yang banyak dihuni ruko dan kedai kopi.

Tapi baru saja menghempaskan pantat di salah satu kursi kedai kopi dan membuka laptop dari dalam tas, nada SMS di handphoneku berbunyi. Pesannya seperti ini,

Mas Pram, Nur balik duluan ya. Belanjanya sudah kelar. Nur naik ojek saja. Terima kasih. Nurlela

Aku kaget, dari mana dia tahu nomor HP ku. Tapi aku ingat-ingat lagi, dua hari lalu saat sosialisasi proyek di balai desa aku memang membagikan nomor HP-ku pada warga yang menjadi peserta. Nurlela juga salah satunya. Ah, padahal sudah ge-er duluan.

Sip, Nur. Aku baru mau internetan nih. Hati-hati ya. 

Pesan itu tidak terbalas lagi sampai pagi ini. Di antara kabut dan aroma kopi hitam yang mulai memudar, aku masih menggantungkan harapan pada semesta.

"Jangan gila kau, Pram!" hardikan Boris membuyarkan lamunanku. Dia pun duduk asal-asalan dengan wajah masih kusut lalu menatap kopi hitam yang masih berhias penutup gelas. "Itu kopi aku kan, Bro?"

"Gila bagaimana?" sahutku sambil menyodorkan kopi hitam miliknya.

"Kamu pasti lagi nunggu si Nur kan, muncul dari depan rumah!"

Degh! Si Boris ini tahu isi hatiku, tapi aku hanya membalasnya dengan celetukan, "Jangan fitness kamu!"

"Fit... nah..."

"Iya, iya. Kamu jangan fitnah..."

"Eh, bro," Boris menurunkan volume suaranya, " Si Nurlela itu banyak yang naksir loh. Jangan sampai dihajar pemuda-pemuda desa yang cemburu. Atau paling gak, inget... kamu tuh sudah punya istri... inget istri, Bro..."

Aku menjitak kepala Boris. "Eh, siapa juga yang lupa istri!" aku sadar suaraku bisa terdengar sampai ke dalam rumah. Lalu buru-buru menurunkan juga volume suara, "Kamu jangan suka hoaks deh..."

Boris hanya tersenyum, lalu berpaling cuek menyesap kopi hitamnya.

Saat itu kabut semakin menipis. Matahari pun semakin tinggi. Aku menatap lurus tanpa mau kehilangan momentum sedikit pun. Di seberang jalan muncul bayangan seorang gadis tinggi semampai, eh kali ini dia nampak berjalan ke arah pagar depan rumah Pak Desa. Aku tersenyum gembira.

Aku refleks merapikan sarung dan gaya rambutku. Boris nampak sibuk dengan HP-nya sehingga tidak memerhatikan peristiwa itu. Semakin lama, bayangan di balik kabut semakin jelas. Aku mengernyitkan kening. Sosok itu membawa sebuah koper kecil.

"Haryati...," gumamku tak percaya.

Boris ikut menoleh ke arah sosok itu.

Haryati, istriku, melambaikan tangan ke arah kami berdua dan melangkah semakin cepat.

"Wah, asyiknya ngopi pagi-pagi di tengah kabut begini. Apa kabar, bapak-bapak?" cerocos istriku dengan suara centilnya yang khas.

Aku berusaha tersenyum. Haryati tahu aku pasti punya banyak pertanyaan saat ini. Jadi setelah cipika cipiki dia menyampaikan semuanya. Dia memang sudah merencanakan kejutan ini. Desa yang menjadi sasaran proyek kami ini, ternyata adalah desa tempat tinggal pakde yang pernah merawatnya beberapa waktu saat SD dulu. Saat ini pakde sudah meninggal, tapi masih ada sepupu yang tinggal di desa itu. Jadi Haryati ingin menengok kerabatnya sekaligus memberi kejutan buat kami.

"Terus tadi kamu naik apa ke sini?" tanyaku begitu dia selesai bercerita dengan penuh semangat.

"Naik ojek, Mas. Kemarin aku perjalanan naik bus, sampai malam tadi di jalan poros. Jadi aku nginap di salah satu losmen, lalu tadi pagi-pagi sekali nyari ojek deh," sahutnya sambil tersenyum.

"Kok nggak bilang-bilang, sih. Kan bisa dijemput di jalan poros," sahutku lagi.

"Kalau dibilang duluan kan bukan surprise lagi, Mas..." godanya lalu tertawa kecil.

"Eh, ada tamu rupanya," istri pak desa muncul dari dalam rumah.

Aku memperkenalkan Haryati kepada istri pak desa, lalu kami semua diajak masuk untuk makan pagi. Aku berada paling belakang, jadi menyadari Boris meninggalkan HP nya di atas meja. Aku bermaksud memanggil sahabat aku ini, tapi naluriku memutuskan untuk mengambil tindakan lain.

Saat itu layar HPnya sedang dalam keadaan unlock, sehingga sebuah gambar, foto di kantor desa kemarin terpampang di layar. Telunjukku bergerak lincah menggeser gambar demi gambar di galerinya. Lalu terlihat-lah gambar-gambar yang bisa menjadi jawaban teka-teki di kepalaku. Foto saat aku menggonceng Nurlela kemarin sore, beberapa frame. Kemudian ada juga foto yang terlihat di-zoom setengah mati, karena diambil dari jauh, saat aku sedang ngobrol dengan Nurlela di balai desa.

Apa dia yang...?

Boris kampreeeet! Makiku dalam hati.

Tapi hati yang mendidih ini langsung adem lagi, begitu melihat pemandangan di seberang jalan. Nurlela sudah siap dalam pakaian kerja sambil menunggu ojek yang lewat. Dia tersenyum manis tepat ke arahku.

 

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun