"Gila bagaimana?" sahutku sambil menyodorkan kopi hitam miliknya.
"Kamu pasti lagi nunggu si Nur kan, muncul dari depan rumah!"
Degh! Si Boris ini tahu isi hatiku, tapi aku hanya membalasnya dengan celetukan, "Jangan fitness kamu!"
"Fit... nah..."
"Iya, iya. Kamu jangan fitnah..."
"Eh, bro," Boris menurunkan volume suaranya, " Si Nurlela itu banyak yang naksir loh. Jangan sampai dihajar pemuda-pemuda desa yang cemburu. Atau paling gak, inget... kamu tuh sudah punya istri... inget istri, Bro..."
Aku menjitak kepala Boris. "Eh, siapa juga yang lupa istri!" aku sadar suaraku bisa terdengar sampai ke dalam rumah. Lalu buru-buru menurunkan juga volume suara, "Kamu jangan suka hoaks deh..."
Boris hanya tersenyum, lalu berpaling cuek menyesap kopi hitamnya.
Saat itu kabut semakin menipis. Matahari pun semakin tinggi. Aku menatap lurus tanpa mau kehilangan momentum sedikit pun. Di seberang jalan muncul bayangan seorang gadis tinggi semampai, eh kali ini dia nampak berjalan ke arah pagar depan rumah Pak Desa. Aku tersenyum gembira.
Aku refleks merapikan sarung dan gaya rambutku. Boris nampak sibuk dengan HP-nya sehingga tidak memerhatikan peristiwa itu. Semakin lama, bayangan di balik kabut semakin jelas. Aku mengernyitkan kening. Sosok itu membawa sebuah koper kecil.
"Haryati...," gumamku tak percaya.