Aku maklum. "Gak ngerepotin, kok. Tapi ya udah, kalau mau nunggu ojek silahkan," sahutku.
Aku menyusul Boris yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Setelah mengganti baju, aku langsung meminjam sepeda motor pak desa untuk menuju ke jalan poros.
Di depan jalan, Nurlela masih terlihat menunggu angkutan ojek. Aku kembali menawarkan tumpangan, "Ayuk! Nanti kalau kelamaan, pasarnya bisa tutup loh..."
Nurlela sepertinya berubah pikiran. Walau masih nampak ragu-ragu, pada akhirnya dia bersedia duduk di boncengan motor.
Perjalanan selama 20 menit ke arah pasar tidak terasa karena di jalan kami mengobrolkan banyak hal... termasuk pembicaraan yang sifatnya pribadi. Aku jadi tahu, kalau Nurlela dua tahun lalu hampir menikah, tapi calon suaminya ternyata menghamili anak orang, sehingga dipaksa menikahi orang lain dan saat ini menetap di salah satu tempat di Kalimantan. Sejak saat itu dia cenderung menutup diri terhadap laki-laki, padahal cukup banyak pria yang menaruh hati padanya.
Aku percaya sih, karena baru bertemu beberapa kali saja, aku sudah merasa jatuh hati juga.
"Mas Pram sendiri bagaimana? Sudah berkeluarga atau belum?" tanyanya setelah pembicaraan kami terjeda beberapa detik.
Pertanyaan itu tidak keburu dijawab, karena tahu-tahu sepeda motor telah berada di lokasi pasar yang dituju Nurlela. Masih nampak satu dua aktivitas transaksi, tapi sudah lebih banyak lapak jualan yang tutup.
"Makasih ya, Mas, sudah ngerepotin," ucap Nurlela setelah turun dari boncengan motor.
"Ah, enggak kok. Nanti pulangnya aku singgahi lagi ya,"
"Mm... Mas Pram lama nggak?"