Boris ikut menoleh ke arah sosok itu.
Haryati, istriku, melambaikan tangan ke arah kami berdua dan melangkah semakin cepat.
"Wah, asyiknya ngopi pagi-pagi di tengah kabut begini. Apa kabar, bapak-bapak?" cerocos istriku dengan suara centilnya yang khas.
Aku berusaha tersenyum. Haryati tahu aku pasti punya banyak pertanyaan saat ini. Jadi setelah cipika cipiki dia menyampaikan semuanya. Dia memang sudah merencanakan kejutan ini. Desa yang menjadi sasaran proyek kami ini, ternyata adalah desa tempat tinggal pakde yang pernah merawatnya beberapa waktu saat SD dulu. Saat ini pakde sudah meninggal, tapi masih ada sepupu yang tinggal di desa itu. Jadi Haryati ingin menengok kerabatnya sekaligus memberi kejutan buat kami.
"Terus tadi kamu naik apa ke sini?" tanyaku begitu dia selesai bercerita dengan penuh semangat.
"Naik ojek, Mas. Kemarin aku perjalanan naik bus, sampai malam tadi di jalan poros. Jadi aku nginap di salah satu losmen, lalu tadi pagi-pagi sekali nyari ojek deh," sahutnya sambil tersenyum.
"Kok nggak bilang-bilang, sih. Kan bisa dijemput di jalan poros," sahutku lagi.
"Kalau dibilang duluan kan bukan surprise lagi, Mas..." godanya lalu tertawa kecil.
"Eh, ada tamu rupanya," istri pak desa muncul dari dalam rumah.
Aku memperkenalkan Haryati kepada istri pak desa, lalu kami semua diajak masuk untuk makan pagi. Aku berada paling belakang, jadi menyadari Boris meninggalkan HP nya di atas meja. Aku bermaksud memanggil sahabat aku ini, tapi naluriku memutuskan untuk mengambil tindakan lain.
Saat itu layar HPnya sedang dalam keadaan unlock, sehingga sebuah gambar, foto di kantor desa kemarin terpampang di layar. Telunjukku bergerak lincah menggeser gambar demi gambar di galerinya. Lalu terlihat-lah gambar-gambar yang bisa menjadi jawaban teka-teki di kepalaku. Foto saat aku menggonceng Nurlela kemarin sore, beberapa frame. Kemudian ada juga foto yang terlihat di-zoom setengah mati, karena diambil dari jauh, saat aku sedang ngobrol dengan Nurlela di balai desa.