"Nggak, kok. Cuma belanja dikit, sama kirim laporan ke kantor saja."
"Di sini banyak ojek kok, Mas. Nanti kalau sudah selesai belanja mas Pram belum balik, aku naik ojek saja."
Aku sebenarnya mau sedikit ngotot tapi yang keluar dari mulut malah, "Oh gitu. Ya udah, Nur. Aku lanjut dulu kalau gitu..."
Nurlela pun mengangguk sambil pasang senyum yang bisa bikin diabetes melitus saking manisnya.
Di sepanjang perjalanan kemudian aku bersiul-siul riang. Bahagia sekali rasanya bisa sedikit lebih dekat dengan gadis itu. Aku pun bergegas memenuhi segala keperluan begitu sampai di salah satu spot di jalan poros yang banyak dihuni ruko dan kedai kopi.
Tapi baru saja menghempaskan pantat di salah satu kursi kedai kopi dan membuka laptop dari dalam tas, nada SMS di handphoneku berbunyi. Pesannya seperti ini,
Mas Pram, Nur balik duluan ya. Belanjanya sudah kelar. Nur naik ojek saja. Terima kasih. Nurlela
Aku kaget, dari mana dia tahu nomor HP ku. Tapi aku ingat-ingat lagi, dua hari lalu saat sosialisasi proyek di balai desa aku memang membagikan nomor HP-ku pada warga yang menjadi peserta. Nurlela juga salah satunya. Ah, padahal sudah ge-er duluan.
Sip, Nur. Aku baru mau internetan nih. Hati-hati ya.Â
Pesan itu tidak terbalas lagi sampai pagi ini. Di antara kabut dan aroma kopi hitam yang mulai memudar, aku masih menggantungkan harapan pada semesta.
"Jangan gila kau, Pram!" hardikan Boris membuyarkan lamunanku. Dia pun duduk asal-asalan dengan wajah masih kusut lalu menatap kopi hitam yang masih berhias penutup gelas. "Itu kopi aku kan, Bro?"