![[Cerpen] Pohon Hayat](https://assets-a2.kompasiana.com/items/album/2024/09/23/pohon-hayatpngwing-66f10fc934777c286b0d8b92.jpeg?t=t&v=100&x=100&info=meta_related)
![[Cerpen] Jalan Menuju Rindu](https://assets-a2.kompasiana.com/items/album/2024/09/16/jalan-menuju-rindu-66e84fc034777c79ba7b8f24.jpg?t=t&v=100&x=100&info=meta_related)
![[Cerpen] Cangkriman](https://assets-a2.kompasiana.com/items/album/2024/09/22/1536739690-66ef5550c925c40fb5324952.jpg?t=t&v=100&x=100&info=meta_related)
Tak sampai dua menit kemudian, gawai Badrun berbunyi nyaring pertanda ada panggilan masuk. Panggilan itu tidak segera diangkatnya, membuat Eko jadi terganggu.
“Bro, dari siapa?”
“Nggak tahu nih, nomor baru!”
“Ya udah, buruan diangkat…”
“Tapi…,” Badrun menarik napas sejenak. “…ini nomor Indidorenisat.”
“Jawab saja teleponnya, susah amat!”
Badrun menggeleng, lalu menekan tombol untuk menolak panggilan tersebut. “Sekali boikot, tetap boikot,” sahutnya mantap.
Eko geleng-geleng kepala lalu kembali asyik dengan gawainya, sebelum gawai Badrun bernyanyi kembali.
“Siapa sih ini? Ngotot amat!” Badrun tak merubah pendirian begitu melihat nomor yang sama kembali tertera di layar gawainya, lalu dia kembali menolak panggilan itu.
“Mantap, Bro. Konsisten…!” seru Eko satire. Lalu dia terkejut karena sekarang gawainya yang berbunyi nyaring. Dia mengernyitkan kening memandang nomor baru si pemanggil.
“Siapa, Bro?” tanya Badrun. Eko mengangkat bahu tanda tidak tahu. Tetapi berbeda dengan Badrun, dia segera menjawab telepon itu.
