Senja hampir sampai di halaman rumah Badrun. Eko dan Badrun yang sedang bersantai di atas balai-balai bambu menikmati momentum itu dengan khusyuk. Bukan karena sebentar lagi waktu berbuka tiba, tapi karena masing-masing sibuk dengan gawai di antara jari-jemarinya.
Ekspresi dua pemuda setengah jomblo setengah pengangguran ini terlihat beda. Eko yang sore ini memakai kaos merah pudar dibalik sarung yang tersampir sesekali tersenyum geli. Sementara Badrun yang bertubuh gempal berkaos hitam kekecilan justru serius seperti sedang ujian meja.
Setelah keduanya dibekap sepi beberapa lama, bersuaralah Badrun dengan ketus,
“Eh, Bro, aku mau ikutan boikot Indidorenisat!”
Eko hanya membalas dengan mengangkat alisnya pertanda tidak paham. Badrun melanjutkan ucapannya,
“Ini, bosnya Indidorenisat belagu banget! Mecat karyawan seenaknya…”
“Terus? Hubungannya dengan kamu apa?” sahut Eko.
“Ini namanya solidaritas, Bro. Sebagai sesama buruh kita mesti solidaritas.”
“Iya, iya. Solidaritas sih solidaritas, tapi nggak perlu boikat-boikot gitu. Lagian kamu juga kan memang nggak pake Indidorenisat!”
Badrun tersenyum kecut. “Cara boikotnya lain, Bro! Lihat saja, aku tidak akan pernah ngangkat telepon orang yang pakai nomor operator itu.”
Eko hanya mengangkat bahu lalu kembali asyik dengan gawainya. Begitu pula Badrun.