Senja hampir sampai di halaman rumah Badrun. Eko dan Badrun yang sedang bersantai di atas balai-balai bambu menikmati momentum itu dengan khusyuk. Bukan karena sebentar lagi waktu berbuka tiba, tapi karena masing-masing sibuk dengan gawai di antara jari-jemarinya.
Ekspresi dua pemuda setengah jomblo setengah pengangguran ini terlihat beda. Eko yang sore ini memakai kaos merah pudar dibalik sarung yang tersampir sesekali tersenyum geli. Sementara Badrun yang bertubuh gempal berkaos hitam kekecilan justru serius seperti sedang ujian meja.
Setelah keduanya dibekap sepi beberapa lama, bersuaralah Badrun dengan ketus,
“Eh, Bro, aku mau ikutan boikot Indidorenisat!”
Eko hanya membalas dengan mengangkat alisnya pertanda tidak paham. Badrun melanjutkan ucapannya,
“Ini, bosnya Indidorenisat belagu banget! Mecat karyawan seenaknya…”
“Terus? Hubungannya dengan kamu apa?” sahut Eko.
“Ini namanya solidaritas, Bro. Sebagai sesama buruh kita mesti solidaritas.”
“Iya, iya. Solidaritas sih solidaritas, tapi nggak perlu boikat-boikot gitu. Lagian kamu juga kan memang nggak pake Indidorenisat!”
Badrun tersenyum kecut. “Cara boikotnya lain, Bro! Lihat saja, aku tidak akan pernah ngangkat telepon orang yang pakai nomor operator itu.”
Eko hanya mengangkat bahu lalu kembali asyik dengan gawainya. Begitu pula Badrun.
Tak sampai dua menit kemudian, gawai Badrun berbunyi nyaring pertanda ada panggilan masuk. Panggilan itu tidak segera diangkatnya, membuat Eko jadi terganggu.
“Bro, dari siapa?”
“Nggak tahu nih, nomor baru!”
“Ya udah, buruan diangkat…”
“Tapi…,” Badrun menarik napas sejenak. “…ini nomor Indidorenisat.”
“Jawab saja teleponnya, susah amat!”
Badrun menggeleng, lalu menekan tombol untuk menolak panggilan tersebut. “Sekali boikot, tetap boikot,” sahutnya mantap.
Eko geleng-geleng kepala lalu kembali asyik dengan gawainya, sebelum gawai Badrun bernyanyi kembali.
“Siapa sih ini? Ngotot amat!” Badrun tak merubah pendirian begitu melihat nomor yang sama kembali tertera di layar gawainya, lalu dia kembali menolak panggilan itu.
“Mantap, Bro. Konsisten…!” seru Eko satire. Lalu dia terkejut karena sekarang gawainya yang berbunyi nyaring. Dia mengernyitkan kening memandang nomor baru si pemanggil.
“Siapa, Bro?” tanya Badrun. Eko mengangkat bahu tanda tidak tahu. Tetapi berbeda dengan Badrun, dia segera menjawab telepon itu.
“Assalamualaikum…,” sahutnya ramah.
“Iya, Pak, bener saya sendiri… Oh, iya pak, bagaimana?”
Eko terdiam sejenak, membiarkan si pemanggil berbicara sedikit panjang. Badrun jadi penasaran dibuatnya.
“Oh… bisa, Pak, bisa! Iya aku besok pagi-pagi ke rumah bapak. Iya… nggak kok, Pak…. Oke… Wallaikumsalam…”
Setelah menutup panggilan tersebut, mata Eko berbinar-binar seketika.
“Yess… besok aku dapat proyek, Bro. Itu tadi pak Munardi yang tinggal di ujung kompleks, minta aku membantu dia mengecat rumahnya. Sekarang aku cabut ya, Bro. Mau ngecek perkakas di rumah.”
Badrun terkejut.
“Eh, Bro, tunggu dulu! Jangan-jangan tadi dia yang nelpon aku?” cegah Badrun. Eko membuka kembali riwayat teleponnya.
“Ng… ini tiga angka terakhir nomor teleponnya, 341.”
“Haahh! Jangan-jangan memang dia tadi yang menelepon!” seru Badrun setelah mencocokkan tiga digit terakhir dengan nomor panggilan yang tadi ditolaknya.
Eko hanya terkekeh, lalu segera beranjak dari situ. “Rejeki memang gak kemana, Bro!” serunya riang.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H