Si Soleh ini kadang-kadang ember bocor juga. Tapi ya tidak apa-apa curhat aja. Siapa tahu dia punya solusi,batin Badrun.
“Ada apa? Gue cakep ya? Hehehe...”
Badrun pun menghembuskan napas panjang sebelum mengawali curhatannya.
“Iya nih, Bro. Itu… si Mirah. Dia belum bersedia gue lamar kalau belum punya rumah sendiri. Elu kan tahu, rumah sekarang harganya selangit. Sementara guecuman loper koran rangkap tukang parkir rangkap penampung plastik. Pendapatan pas-pas, mana bisa punya rumah dalam waktu sedekat ini.”
Soleh pun manggut-manggut setelah memahami duduk permasalahannya.
“Memang cewek masa kini seperti itu, Bro…”
“Sebagai orang yang malang melintang dalam dunia perkreditan, elu punya solusi gak?” todong Badrun.
“Kalau rumah lelang lu mau gak? Gue punya teman yang bisa bantu…”
Badrun menggaruk-garuk kepalanya “Duh, denger-denger ribet, Bro. Lagian tetap mesti sedia dana lumayan besar, kan?”
“Iya juga sih.”
Keduanya terdiam. Suasana lengang kembali. Matahari berwarna tembaga telah mengintip di balik gedung-gedung pencakar langit dari kejauhan, pertanda tak lama lagi waktu mahgrib tiba.