Pintu lift terbuka dan…. aku nyaris berteriak karena sosok Andien tahu-tahu muncul di depan lift.
“Mas Alif makannya lama benar… pesananku ada kan?” tanyanya. Penampilannya berubah. Setelan kantor berwarna abu-abu, tanpa syal dan ada dua potong koyo tertancap di kiri dan kanan kepalanya. Wajahnya juga agak pucat.
“Mas Alif kenapa? Kayak habis lihat hantu….”
“Memang!” seruku panik, lalu buru-buru menuju ke sudut dekat jendela, untuk memberi jalan kepada orang-orang yang hendak masuk ke dalam lift. Andien mengekor penasaran.
“Kamu bukannya tadi ke…? Bukannya tadi kamu…?” bahkan untuk meneruskan kata-kata saja sel-sel otakku tidak berfungsi lagi saking terkejutnya. Andien semakin menatap tak mengerti.
Ah, aku jadi teringat sesuatu sekarang. Baju yang dipakainya! Ya, itu bukan mode atau semacamnya. Aku cepat-cepat membuka galeri HP dan mengakses foto-foto lama. Rasanya masih tersimpan semua di memory card HP ini. Sampailah aku pada foto saat Rike, nama gadis naas itu, membunuh dirinya.
Foto amatir saat satpam kami menurunkan jenazah dari tali mautnya pun menghias layar HP-ku. Tidak etis memang mengambil gambar seperti itu, tapi foto itu dalam hitungan menit berpindah dari satu HP ke HP yang lain sebelum sampai ke HP-ku saat itu.
Memang agak gelap, tapi lampu flash HP yang pertama kali merekam gambar bisa menunjukkan dengan jelas kalau pada saat itu almarhumah memakai baju merah maroon, dalaman putih dan syal berwarna kelabu. Bulu-buluku merinding seketika. Aroma amber, entah parfum Andien atau bukan, lagi-lagi menggelitik syaraf-syaraf penciumanku.
“Ada apa sih, mas?”
Aku menggenggam tangan Andien kencang.
“Aku habis jadian sama han… han… han…”