“Kali-kali aja mas Alif tahu, kan katanya karyawan senior…,” Andien membela diri, masih menyisakan derai tawanya.
Aku menggelengkan kepala. Memang peristiwa itu selalu menjadi topik menarik bagi anak-anak baru, seperti Andien ini. Dan sasarannya ya… karyawan senior, seperti aku ini.
“Itu kan hanya dugaan karena belum ada bukti pasti. Memang dulu kawan akrab almarhumah yang curiga seperti itu, tapi dianya juga kan sudah resign ikut suaminya ke Kalimantan.”
Andien manggut-manggut mirip burung kakatua denger lagu hip-hop.
“Lagian kamu ini…” ucapku lagi. “Lagi makan siang kok ngomongin beginian. Nanti selera makan kita bisa hilang.”
“Iya, iya,” sahutnya sambil melambaikan tangan ke pelayan yang melintas. “Teh manis hangat dua ya!”
---
Aku heran. Teman-teman bilang akhir-akhir ini aku semakin akrab dengan Andien. Padahal menurutku, betul itu. Mungkin karena selama ini sebagai supervisor logistik aku jarang berkunjung ke ruangan lantai 3 yang diisi orang-orang HRD dan general affair. Tapi semenjak ada Andien, selalu saja ada alasan untuk berkunjung ke sana. Mengantar jemput berkas, sinkronisasi data, disposisi laporan atau setor muka. Padahal semua sebenarnya bisa diwakilkan kepada staf, kecuali yang terakhir.
Entah mengapa kalau dalam sehari tidak melihat gigi kelincinya dan mengendus parfum aroma amber khas dia, ada yang kurang.
Satu bulan telah berlalu.
Rasanya dunia semakin berwarna dan kehidupan sedang menuju ke puncaknya. Padahal rutinitas berjalan seperti biasanya. Matahari masih bersedia terbit di timur, staf-staf pemasaran masih suka berlarian menuju mesin check clock menjelang injury time, bos besar masih suka marah-marah kalau penjualan turun dan masih-masih yang lain.