Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Matahari Terbenam di Ufuk Hati

9 Januari 2017   17:13 Diperbarui: 9 Januari 2017   17:33 1533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari: http://weheartit.com/

Hari hampir beranjak jadi malam di bibir pantai Akarena. Air laut sedang menjauh ke samudera, meninggalkan hamparan pasir basah berwarna tembaga ditempa matahari senja. Nadine berjalan lambat, membiarkan kaki telanjangnya bersentuhan dengan pasir, lubang kepiting dan serpihan waktu.

HP-nya berbunyi. Sekali pandang, wajah lelaki yang telah menyakiti hatinya muncul di layar. Dia rasanya ingin berteriak marah saat itu, atau paling tidak menolak panggilan itu. Tapi hari-hari kontemplasi rasanya sudah cukup menetralkan kembali emosi dan kedewasaannya. Dia harus kuat di mata Ray, jadi dia memutuskan menjawab panggilan tersebut.

“Halo,” walau dengan intonasi sedingin kutub utara.

Percakapan pun terjadi. Awalnya berlangsung flat, lalu nada Nadine dan lelaki itu meninggi. Nadine menahan dirinya supaya tidak memaki. Dia lalu terdiam lama, sebelum lelaki itu memanggil-manggil

“Lupakan saja saya, Ray. Saya sudah mau menikah!” Nadine melanjutkan tuturnya dengan nada yang sudah mulai melunak.

“Hah?! Kita baru putus dua minggu, lalu kamu sudah mau menikah? Luar biasa!” terdengar suara penuh amarah dari speaker HP.

“Saya sudah dilamar lama sebenarnya. Hanya selama ini saya berusaha mempertahankan hubungan kita…”

“Siapa namanya?”

“Siapa?”

“Siapa nama laki-laki itu?”

“Widodo…”

“Dimana dia tinggal?”

“Sudahlah. Tidak penting, setelah menikah kami juga akan pindah dan tinggal di Bandung…”

Pembicaraan terputus.

Air mata Nadine meleleh. Dia masih berjalan beberapa helaan napas lagi, sebelum seorang bapak berbaju safari memanggilnya. Saat itu matahari benar-benar hampir terbenam, tetapi masih bisa terlihat jelas kalau sebagian besar rambut di kepala bapak itu telah memutih.

Nadine menghampirinya setelah memastikan tidak nampak lagi sisa-sisa air mata di pipinya.

“Pak Widodo, ada apa?”

Bapak itu tersenyum hormat.

“Ini, Non. Nyonya besar barusan telepon, katanya HP Non Nadine sibuk.”

“Oh iya, Mama bilang apa, Pak?”
 “Nyonya minta saya segera mengantar Non pulang karena pak Haerudin ternyata sampai malam ini.”

“Oh ya? Saya pikir Om Her dan keluarga baru dari Bandung besok malam, Pak.”

“Nyonya bilang malam ini, Non.”

“Baik kalau begitu, Pak. Tapi saya ke toilet dulu, ya.”

Sepuluh menit kemudian, mobil Xenia hitam meluncur meninggalkan areal pantai. Widodo di belakang setir dan Nadine duduk di belakangnya. Dia kembali melamun. Di luar, malam semakin menampakan wajahnya.

Saya lebih terkejut, batin Nadine.

Kita sudah berpacaran dua tahun, tetapi kamu tetap tidak ingat dengan nama sopir pribadi saya. Jika kamu tidak menghargai hal-hal kecil, bagaimana saya mengharapkanmu menghargai yang lebih besar.  Maafkan saya sudah membohongimu. Tetapi mungkin inilah jalan yang terbaik untuk saya dan kamu.

----

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun