Pada sebuah siang yang hangat, kepala dusun sedang menengahi kasus pencurian yang menimpa salah satu warganya. Kumisnya yang lebat bak sulur beringin naik turun seiring anggukan kepalanya mendengar curhat Pak Oploh. Warga terkaya di dusun itu mengadu papan-papan yang disiapkan untuk membangun rumah kudanya tiba-tiba hilang.
“…jadi begitu ceritanya Pak Kadus. Saya punya saksi kalau pencurinya itu dia,” tuding Pak Oploh dengan telunjuknya yang tambun pada seorang bapak lainnya di sudut balai dusun.
Pak Landoh yang dituding sekali lagi melambaikan tangannya.
“Sumpah pak Kadus, demi Allah saya tidak mengambil kayu pak Oploh…”
Balai dusun pun kembali gaduh. Sebagian warga mendukung Landoh. Sehari-harinya bapak bertubuh cungkring ini bekerja sebagai tukang mebel. Memang orangnya agak pendiam, tapi warga dusun tahu kalau dia orang baik-baik. Tidak mungkin dia melakukan perbuatan seperti itu.
Tetapi ada juga warga yang berpihak kepada Pak Oploh. Terutama warga yang sering dapat pinjaman duit, walaupun bunganya mencekik leher.
Gubrakk!!
Kepala dusun menggebrak meja sambil menyuruh semua warga yang hadir diam. Tapi suasana balai dusun masih saja gaduh. Mereka baru terdiam saat meja yang digebrak kepala dusun roboh berjatuhan ke lantai. Sudah cukup lapuk memang.
Kepala dusun terperangah sesaat. Tapi langsung fokus kembali pada kasus yang sedang ditangani. Setelah berpikir tujuh belas detik, dia pun bertitah lagi,
“Panggil saksinya! Siapa saksinya?”
Seorang ibu-ibu muda berbaju merah muda maju ke depan.