Kemarin rembulan bertutur padaku
katanya
kamu telah membunuh seseorang
membiarkan tanganmu yang indah dipenuhi darah dari kematian.
Kamu lalu membuang belati pembawa maut itu ke tengah telaga kecil di belakang rumah kita.
Anehnya belati itu berubah menjadi bukit tinggi.
Kamu membersihkan darah hitam pekat di telapak tanganmu dengan air telaga
lalu telaga berubah menjadi taman bunga.
.
Kemarin malam bertutur padaku
katanya
kamu berjibaku melawan maut dan melahirkan seorang bayi mungil ke pangkuan bumi.
Sayangnya dia tidak sempat lagi meneriakkan tangisan pertamanya.
Jalan kehidupannya hanya sepanjang belati itu dan tangan indahmu.
.
Aneh, bukan?
Jika sekat antara kematian dan kehidupan setipis itu, mengapa kita harus memuja kehidupan dan mengutuki kematian?
Tidak apa jika kematian adalah jembatan kepada kehidupan yang lain
tidak apa jika darah yang mengotori tanganmu akan berubah menjadi keindahan yang lain
.
Tidak apa jika kematian serupa datang bersama belati yang kamu tancapkan di tengah-tengah jantungku.
Aku bisa merasakan sel-sel darahku mengalir menutupi belati itu
memenuhi tanganmu dan jatuh bertetes-tetes ke atas bumi.
.
Buatlah bukit yang lain dan penuhilah dengan bunga.
Melati, mawar, anggrek, dahlia, kenanga, asoka, merah, kuning, putih, hijau.
dan baringkanlah aku dalam damai di sana
sampai
malam dan rembulan kembali bertutur padaku.
------
Makassar, ujung malam 14 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H