Tak lama kemudian, ketiga penyihir sudah menelusuri lorong-lorong bawah tanah, setelah melewati ruangan dalam bangunan utama padepokan yang telah penuh debu dan sarang serangga.
Mereka memendarkan batu mulia di ujung tongkat sihir masing-masing agar menjadi sumber penerangan mereka.
Mereka tak berhenti berdecak ngeri setiap kali menemukan sisa-sisa perisai sihir berkekuatan tinggi yang berhasil dilucuti penyihir yang mendahului mereka. Setelah memeriksa beberapa ruangan yang diberi simbol dengan hasil nihil, mereka pun sampai pada ruangan terakhir. Ruangan itu berada pada lantai paling bawah. Mereka terkejut, begitu melihat lorong yang dipenuhi bangkai kalajengking.
“Sihir api,” gumam Enror.
“…sepertinya mereka selalu selangkah di depan kita,” sambung Orion.
“Mari berharap penyihir itu tidak berhasil menemukan yang kita cari, walaupun aku benar-benar memiliki firasat buruk tentang ini,” suara Mirina terdengar bergetar.
Sayangnya, firasat Mirina memang terbukit benar.
Orion berhasil membuka ruang rahasia yang dimaksud dengan mantra yang sesuai namun begitu tembok pembatas ruangan terangkat ke atas dan menyingkapkan isi ruangan, mereka terkejut.
Ruangan berisi meja dan lemari-lemar nampak terobrak-abrik. Dari bekas debu dan keadaan ruangan, jelas terlihat kalau sebelumnya ada orang yang masuk ke ruangan itu dan saat keluar membawa serta sebagian isi ruangan.
Orion dan Enror kelihatan semakin cemas. Mirina yang bertampang paling dingin tetap tidak bisa menyembunyikan ekspresi serupa dari gurat-gurat wajahnya.
“Pelakunya bukan hanya satu penyihir…”