Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[Basalto Terakhir] Awal Perseteruan

9 Juni 2016   16:55 Diperbarui: 9 Juni 2016   17:14 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita sebelumnya: [Basalto Terakhir] Tangisan Viona

---

“Kumohon, Ratu.” Emerald buka suara. Bagaimana pun juga dia memahami perasaan Viona sebagai sesama wanita. Tapi dia harus membantu menjauhkan Viona dan  Daestar dari musibah yang sedang mengancam di depan mata ini. “Dengarkan kata-kata Raja. Paling tidak bawa Daestar ke tempat yang aman untuk sementara waktu.”

Tangis Viona pun pecah. Daestar memandang tidak mengerti ke wajah ibunya. Lalu Viona membalikkan badan dan segera beranjak tergopoh-gopoh kembali ke dalam istana.

Emerald bernapas lega.

“Lihatlah, Thores. Belum apa-apa, keluargamu sudah harus merasakan akibatnya,” seru Ruby.

“Brengsek! Kalianlah penyebab ini semua,” geram Basalto.

Dia lalu berteriak lantang,

“Para prajurit! Aku memberi kalian izin untuk menyerang jika mereka maju selangkah saja ke arah padepokan. Tidak usah pedulikan kebesaran mereka. Mereka memang Raja di wilayah mereka, tetapi dengan tidak mematuhi Rajamu di tempat ini, perlakukan mereka sama seperti pemberontak.”

Darah Ruby, Emerald dan Ametys jadi mendidih mendengar perintah itu.

Jika diperhatikan baik-baik sejumlah prajurit seperti nampak ragu-ragu. Mereka merasa tidak semestinya menyerang pemimpin-pemimpin kaum sihir di hadapan mereka. Tetapi mau tidak mau mereka tetap harus mematuhi perintah Raja mereka.

Sebelum berbalik dan meninggalkan tempat itu, Basalto masih sempat mengarahkan telunjuknya ke arah tiga kawan yang kini jadi seterunya.

“Jangan salahkan aku. Kalian telah kuberi kesempatan,” ucapnya.

“Sialan, Thores. Dia hendak kemana?” gumam Emerald.

“Dia menuju ke padepokan. Sepertinya dia akan mengamankan emas hitam itu,” sahut Ametys.

“Ayo kita kejar. Kawan-kawan, siapkan energi kalian. Kita akan menembus barisan prajurit Thores ini,” sambung Ruby.

Keduanya mengangguk, lalu menggenggam erat-erat tongkat sihir mereka. Ketiganya maju pun bersamaan. Wajah mereka menegang, siap menghadapi segala kemungkinan.

Para prajurit yang awalnya terlihat ragu tidak punya pilihan lain melihat ketiga raja kaum sihir itu telah maju dan bersiap-siap menghadapi mereka. Dari tongkat masing-masing prajurit pun melesat cahaya biru bersuhu tinggi ke arah ketiga raja.

Mereka telah siap. Sesaat sebelum sihir itu sampai pada sasarannya, mereka telah membentuk selubung sihir besar menyerupai kubah biru kasat mata di sekitar mereka. Pada saat serangan dari para prajurit menghantam selubung sihir itu, terdengar ledakan besar diikuti percikan cahaya biru terang yang seketika memenuhi udara di tempat itu.

Sekalipun tidak berhasil mengenai sasarannya, serangan itu rupanya tidak boleh dianggap remeh. Akibat hempasan serangan yang gagal itu, Ruby sampai terjatuh sehingga Emerald dan Ametys membantunya berdiri.

“Mereka pasti prajurit-prajurit pilihan. Energi serangan mereka luar biasa,” ucap Emerald.

“Benar. Kita harus waspada,” sambung Ametys.

Sementara itu, para prajurit menunggu pergerakan sasaran mereka. Mereka telah mempersiapkan serangan berikutnya.

“Aku punya ide,” Emerald baru saja menemukan sebuah pemikiran. “Bagaimana kalau aku yang akan pergi menyusul Thores. Kalian buat para prajurit sibuk, lalu aku akan menyelinap diam-diam.”

Ruby menggeleng.

“Biar aku saja, Kesha. Thores terlalu berbahaya saat ini,” sergahnya.

“Tidak. Kalian berdua di sini. Biar aku yang kesana,” sambung Ametys.

Emerald menggeleng.

“Tentu aku tidak akan menang melawan Thores sendirian. Tetapi kalian berdua lebih punya peluang memenangkan pertempuran di sini. Setelah itu susul aku secepatnya. Aku hanya akan memperlambat pergerakan Thores.”

Ametys dan Ruby pun mengangguk paham.

“Baik, kalau begitu…” Ametys menghentakkan tongkat sihirnya ke tanah dengan mantap. “…kalian berdua lindungi aku. Aku yang akan mulai memberi mereka pelajaran.”

Setelah itu Ametys membaca lamat-lamat barisan mantra. Seiring lantuntan mantra, tongkat sihirnya diangkat tinggi-tinggi ke angkasa.

Melihat gelagat itu, para prajurit tidak menunggu lama. Mereka kembali mengirim serangan sihir berikutnya. Puluhan cahaya biru terang kembali melesat.

Untunglah kali ini Emerald dan Ruby lebih siap. Mereka segera memasang selubung sihir serupa kubah, hanya kali ini dengan energi sihir yang lebih besar. Serangan para prajurit pun berhasil dipatahkan. Terdengar suara ledakan demi ledakan saat sihir para prajurit berbenturan dengan dinding kubah.

Sementara itu, mantra Ametys sepertinya hampir tuntas. Awan gelap tiba-tiba berkumpul di atas lapangan tempat terjadinya pertempuran. Suhu udara turun drastis dan pemandangan seketika menjadi gelap. Petir pun mulai terdengar bersahutan di atas langit.

Sambil terus mempertahankan kubah sihirnya, Emerald tersenyum tipis.

“Basaman cerdas,” ucapnya.

“Ya,” sahut Ruby. “Kekuatan utama sihir api yang digunakan para prajurit berasal dari matahari.”

-----

(bersambung)

 Pertama kali ditayangkan di blog planet-fiksi.blogspot.com 

dalam rangka event #Tantangan100HariMenulisNovelFC

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun