Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Motivasi RTC] Kepada Luka-luka

21 Mei 2016   17:30 Diperbarui: 21 Mei 2016   18:28 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari: uptownsparkle.wordpress.com

Sebuah karya kolaborasi dari tim API

-------

Handphone dibiarkan tergeletak begitu saja di atas kasur, padahal dari speaker masih terdengar samar-samar suara lelaki memanggil-manggil. Anya tidak peduli. Kedua tangannya menutupi wajah untuk menahan air mata yang meleleh deras. Tapi tidak bisa. Air mata itu adalah luapan kesedihan yang harus ditumpahkan. Semangatnya untuk menjalani hidup menjadi sirna. Padahal cahaya kemerahan matahari senja yang muncul dari balik jendela begitu memesona. Percakapannya barusan telah menutup satu lagi lembaran cerita cinta dalam buku hidupnya. Selalu kisah yang sama, sehingga dia merasa begitu lelah. Lelah dikhianati kekasih juga mungkin dikhianati… cinta.

Rasa terpuruk ketika ditinggalkan seseorang yang dicintai bukanlah sekali dua kali Anya rasakan, namun entah mengapa setiap kali perpisahan menjemput kisah cintanya, Anya selalu merasa terlahir bak seorang bayi. Yang rapuh. Polos. Lugu. Dirinya akan selalu hancur berkeping-keping.

Dulu, ketika pertama kali dikhianati, Anya pernah menasbihkan dirinya untuk tidak lagi mengenal cinta. Cinta pertama yang dipujanya ternyata usianya tidak lebih panjang dari kehamilan seorang ibu, hanya 6 bulan. Dion nama cowok itu. Namun ternyata Dion hanya memanfaatkan popularitasnya sebagai gadis sampul. Di belakang Anya, ternyata Dion menjalin kasih dengan temannya semasa kecil. Anya kecewa dan marah.

Namun, Anya adalah mahluk Tuhan yang hatinya terbuat dari segumpal daging bukan baja, yang kadang tak mampu menolak panah Cupid, si dewa asmara. Anya pun akhirnya jatuh cinta, lagi. Dan terhempas lagi. Jatuh dalam lubang kehilangan berkali kali membuat Anya makin memandang sebelah mata para lelaki yang mendekatinya.

Haruskah berakhir seperti ini? Padahal aku tak pernah menuntut banyak dari sebuah hubungan. Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan. Rasa mencintai dan dicintai dengan tulus. Itu saja... Sepertinya aku memang harus menepi dahulu. Atau barangkali tak perlu membuka hati pada siapapun lagi.

Sementara itu dering suara panggilan dari handphone masih terus terdengar. Tapi Anya telah terlelap dengan membawa seribu kepayahan, luka karena cinta.

Lalu muncullah Bayu Erlan, teman satu kampus namun beda fakultas. Dalam lingkungan mahasiswa, siapa yang tak mengenal Bayu. Lelaki pintar, punya segudang prestasi, humoris, kharismatik dan kaum berada namun rendah hati. Yah, walau wajah Bayu standart alias biasa saja, namun karena kepribadiannya itu, para perempuan di kampus memuja dan berharap Bayu menjadi teman dekat mereka. Namun tidak untuk Anya. Baginya lelaki adalah racun, mereka ibarat zat psikotropika yang harus dihindari. Mereka memabukan namun "mematikan". Dan Anya merasa sudah cukup mabuk kemudian "mati"

Tetapi resistensi Anya, malah membuat Bayu semakin mencoba mendekatinya. Kendati Anya selalu berusaha menjaga jarak, ada bias-bias rasa kekaguman dengan kesungguhan mahasiwa senior satu tingkat di atasnya itu. Namun, entahlah. Sepertinya hati Anya tak mampu lagi menerima kehadiran dan perhatian dari seorang lelaki. Lukanya masih basah, merah dan menganga.

"Anya Prameswari Lingga, kenapa kemarin kamu tak menjawab teleponku?" Siang ini Bayu menghampiri Anya di salah satu sudut kantin  kampus.

"Maaf, Bay. Kemarin aku agak kurang enak badan..., " sahut Anya sambil membantin sampai kapan dia harus terus berbohong.

"Kamu sakit? Kenapa tak meneleponku? Aku kan bisa jemput kamu." Bay menempelkan punggung tangannya ke kening Anya.

“Tidak apa-apa, Bay. Lama-lama juga sembuh sendiri.”

“Hmm… Bagus kalau sembuh, kalau tambah parah?”

“Ini juga udah mending, kok.”

“Oh, syukurlah kalau begitu. Eh, Anya, lusa malam kamu ada acara nggak?”

Anya terdiam, mencoba mencari alasan yang lain.

“Kita nonton, yuk. X-Men. Aku kebetulan punya dua tiket.” Bayu langsung memotong. Ah, pikiran Anya langsung buyar.

“Ng.. Mmm…”

“Aku traktir snacknya juga,” potong Bayu lagi. Nadanya terdengar cukup gigih.

“Maaf ya, Bay. Aku… aku nggak bisa. Lusa seharian aku ada di panti asuhan Citra Kasih. Pasti capek sekali. Maaf ya…”

Bayu terdiam. Anya sama sekali tidak memberi ruang kesempatan untuknya. Dia terus mencoba memasang tembok tebal dalam hatinya, untuk saat ini. Dan entah sampai kapan.

Tidak lama kemudian, Anya menyudahi pembicaraan. Bayu menjauh dengan langkah-langkah kecewa. Setelah itu Anya kembali memandangi flyer biru langit berisi agenda kegiatan serta lokasi panti asuhan Citra Kasih. Kali ini dia tidak berbohong. Salah satu komunitas mahasiswa di kampus yang kegiatannya bertema sosial beberapa hari yang lalu mengajaknya untuk bergabung dengan mereka.

****

Berada di panti asuhan Citra Kasih, membuat Anya sedikit terhibur. Sejenak terlupa akan kenyataan getir kisah cintanya. Tak henti Anya tersenyun dan tertawa, larut dengan kebersamaan dengan seluruh penghuni panti asuhan. Kehadirannya ternyata mendapat sambutan hangat dari anak-anak panti asuhan Citra Kasih.

Beberapa anak bahkan ada yang ingin terus duduk dipangkuan Anya. Mereka sepertinya benar-benar mendambakan kasih sayang yang selama ini seperti hilang. Tanpa ragu, Anya menyuapi dan membersihkan sisa-sisa makanan yang berserak di wajah-wajah polos anak-anak panti asuhan. Membuatkan susu, mengganti pakaian, hingga membacakan dongeng sampai akhirnya mereka pulas dengan sunggingan senyum malaikat. Dengan sepenuh hati Anya mengecup kening mereka satu persatu.

Ada bulir air mata jatuh membasahi pipi Anya.

"Ternyata ada banyak kebahagiaan yang lupa ku syukuri selama ini," batinnya. "Sungguh, deritaku tak sebanding dengan anak-anak berwajah malaikat ini, aku malu dengan-Mu, Tuhan... "

Dari kejauhan nampak Bayu tak henti mengamati seluruh gerak-gerik Anya. Sesudah dirasanya cukup mengambil dokumentasi acara sosial untuk diserahkannya kepada Ketua Komunitas Kampus, Bayu pun melangkah mendekat. Dalam hatinya terselip kekaguman akan kepribadian Anya yang begitu kontras dengan dunia model yang penuh dengan hura-hura. Bahkan, hanya dengan balutan T-shirt dan celana jeans yang dipadu jaket almamaternya, kecantikan Anya nyata terlukis, walau nyaris tanpa riasan make up. Anya benar-benar terlihat seperti seorang bidadari di tengah peri-peri mungil panti asuhan.

Anya terkejut setengah mati melihat sosok Bayu di antara senja di beranda samping panti asuhan. Dia mulai “jatuh hati” pada panti asuhan dan segala kedamaian di dalamnya. Tetapi kehadiran Bayu membuat tembok-tembok tebal yang seharian ini hampir luluh mulai kaku kembali.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Bay?”

Bayu yang sejak tadi tersenyum simpul menikmati ekspresi Anya pun buka suara.

“Fira belum bilang ya, kalau aku di bagian dokumentasi?”

Anya menggeleng. Dari jauh, dilihatnya Fira dan kawan-kawannya yang lain sedang sibuk memasukkan properti miliki komunitas amal mereka ke dalam mobil. Mereka bekerja ditemani ibu panti. Sesekali mereka tertawa lepas pertanda acara hari ini berjalan sesuai harapan.

Anya saat ini sedang menggandeng seorang anak lelaki berusia 4 tahunan. Tapi bocah itu seperti mengerti situasi orang dewasa di hadapannya, sehingga saat itu dia langsung ngacir dari situ dan bergabung dengan bocah-bocah yang lain.

“Nggak tuh. Terus kenapa baru muncul sekarang?” Anya berusaha menjaga nada suaranya agar tetap terdengar dingin.

Bayu mengangkat bahu.

“Mungkin aku takut kalau muncul duluan mood kamu langsung hilang.”

“Kenapa begitu?”

“Kamu selalu menjauh dariku, bukan?”

Sejenak Anya terdiam. Dia bukan menjauhi Bayu. Mungkin tepatnya menjauhi ketakutannya sendiri.

“Tidak, Bay. Jangan berpikiran begitu. Aku…”

“Kalau begitu tawaran nonton dariku tetap berlaku, ya. Masih ada waktu tiga jam buat bersiap-siap.”

Bayu memotong penjelasan Anya.

“Maaf, Bay. Jawabanku tetap tidak. Okey?”

Bayu tersenyum. “Baiklah, nona manis. Jangan galak-galak, dong. Aku mau mengajakmu sebagai sahabat, kok. Tidak lebih. Aku tahu kisah-kisah pahit pada masa lalumu…”

Anya kembali terkejut.

“Aku tahu, karena sejak dulu aku sayang sama kamu.”

****

Seminggu kemudian. 

Anya menghempaskan tubuhnya pada tempat tidur. Matanya mengerjap-ngerjap menatap langit-langit kamarnya yang berwarna hijau pupus. Kata-kata Bayu masih terngiang jelas di telinga.

"Ahh," desahnya sambil melempar handphone sekenanya. Perasaannya kacau. Ada luka yang tiba-tiba menganga kembali. Namun ada semangat baru untuk menyembuhkan luka itu. Tapi entah. Anya seperti sedang berada dalam putaran labirin waktu. Rasa ketakutan akan kehilangan begitu asyik berputar-putar di membran kepalanya. Namun sisi lain hatinya seperti mengiyakan ucapan Bayu. Bahwa semua hal Tuhan ciptakan berpasangan. Dan pecundang namanya jika tak bisa menerima ketetapan Tuhan.

 "Apakah aku pecundang?" Seolah-olah Anya sedang bertanya pada kedalaman hatinya. Tubuhnya meringkuk. Tangisnya pecah hingga bahunya berguncang-guncang.

Selama ini Anya tak pernah menggubris apapun kalimat yang keluar dari bibir Bayu. Namun hari ini, saat Bayu menemuinya di selasar fakultas ekonomi, Anya seperti terhipnotis. Sisi sinisnya memandang kaum adam seolah memudar. Anya mengiyakan ajakan Bayu untuk makan siang di warteg Nini Ijum, warteg langganan anak fakultas ekonomi yang letaknya hanya berjarak 800 meter dari kampus.

 Tak seperti yang sudah-sudah, kali ini Bayu hanya membicarakan tentang hukum sebab akibat dan hukum keseimbangan. Bahkan Bayu dengan sangat antusias menceritakan tentang kisah dalam film 300, kisah pasukan Sparta yang gigih berjuang melawan pasukan Xerxes, padahal dari jumlah pasukan, pasukan Sparta jelas kalah. Namun, pasukan Sparta pantang menyerah. Jumlah yang tak seimbang tak lantas membuat mereka terpuruk dan menyerah. Optimis. Yakin. Mempercayai bahwa setiap perjuangan akan selalu membawa kemenangan. Menang kalah itu hanya tentang hasil yang nampak kasat mata.

Anya makin meringkuk, tangisnya menjadi. Bayu, yang selama ini mencintainya namun ditolak mentah-mentah olehnya, malah membuat mata Anya terbuka. Sikap Bayu tak pernah sekali pun berubah walau beberapa kali mengalami penolakan, baik secara halus maupun kasar. Bahkan, semakin sering Anya menolak Bayu, kalimat bijaksana makin mengalir deras. Anya baru berhenti menangis ketika denting jam menunjukan angka sebelas malam. Mata indahnya nampak sembab bengkak.

"Ya Allah, betapa aku terlalu lama mendzalimi diriku sendiri dengan memilih duduk di singgasana kelamnya kesedihan, padahal Kau ciptakan kesedihan untuk melengkapi rasa bahagiaku."

Di pelupuk mata Anya terbayang wajah Bayu, wajah yang tidak ingin dijadikan kekasihnya, namun hanya sebagai sahabat. Ya, sahabat. Sesuai pinta Bayu, jika tak bisa menjadi sepasang kekasih, cukuplah saja menjadi sepasang sahabat. Tiba-tiba, banyak cahaya bintang berkerlip di kedua mata Anya.

Terimakasih untuk hadirmu, kepada luka-luka yang memberi arti baru.

------

anggota tim API:

Pical Gadi

Anita Albie

Inem Octora

ilustrasi gambar dari: dokumentasi Rumpies The Club
ilustrasi gambar dari: dokumentasi Rumpies The Club

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun