Bayu memotong penjelasan Anya.
“Maaf, Bay. Jawabanku tetap tidak. Okey?”
Bayu tersenyum. “Baiklah, nona manis. Jangan galak-galak, dong. Aku mau mengajakmu sebagai sahabat, kok. Tidak lebih. Aku tahu kisah-kisah pahit pada masa lalumu…”
Anya kembali terkejut.
“Aku tahu, karena sejak dulu aku sayang sama kamu.”
****
Seminggu kemudian.
Anya menghempaskan tubuhnya pada tempat tidur. Matanya mengerjap-ngerjap menatap langit-langit kamarnya yang berwarna hijau pupus. Kata-kata Bayu masih terngiang jelas di telinga.
"Ahh," desahnya sambil melempar handphone sekenanya. Perasaannya kacau. Ada luka yang tiba-tiba menganga kembali. Namun ada semangat baru untuk menyembuhkan luka itu. Tapi entah. Anya seperti sedang berada dalam putaran labirin waktu. Rasa ketakutan akan kehilangan begitu asyik berputar-putar di membran kepalanya. Namun sisi lain hatinya seperti mengiyakan ucapan Bayu. Bahwa semua hal Tuhan ciptakan berpasangan. Dan pecundang namanya jika tak bisa menerima ketetapan Tuhan.
"Apakah aku pecundang?" Seolah-olah Anya sedang bertanya pada kedalaman hatinya. Tubuhnya meringkuk. Tangisnya pecah hingga bahunya berguncang-guncang.
Selama ini Anya tak pernah menggubris apapun kalimat yang keluar dari bibir Bayu. Namun hari ini, saat Bayu menemuinya di selasar fakultas ekonomi, Anya seperti terhipnotis. Sisi sinisnya memandang kaum adam seolah memudar. Anya mengiyakan ajakan Bayu untuk makan siang di warteg Nini Ijum, warteg langganan anak fakultas ekonomi yang letaknya hanya berjarak 800 meter dari kampus.