[caption caption="Ilustrasi gambar dari: seanopher.tumblr.com "][/caption]
Cerita Sebelumnya: [Basalto Terakhir] Herra
"Kuatkan kuda-kuda anda, Tuan. Kekuatan kepakan sayap Herra hampir sama dengan angin puting beliung," Koppo meminta Panglima Thar agar bersiap-siap.
Benar saja. Saat Herra menghentak lantai menara dengan kaki belakangnya yang kokoh sambil mengepakkan kedua sayapnya, gelombang udara yang menghempas Koppo dan Panglima Thar benar-benar dahsyat. Mereka nampak kesulitan mempertahankan posisi mereka. Panglima Thar bahkan harus menunduk untuk meningkatkan kekuatan tumpuan kakinya.
"Sampai ketemu di istana Zatyr...!" seru Panglima Thar. Orion membalas dengan melambaikan tangan sebelum Herra membawanya melesat ke angkasa. Dengan tiga atau empat kali kepakan sayap, Herra membuat jarak mereka dan menara Emerald semakin jauh.
Dalam waktu sekejab Orion bersama Herra jadi seperti noktah hitam saja di antara awan-awan.
***
Suara kepakan sayap Herra terdengar seperti deru angin topan yang membelah langit.
"Bagus, Herra. Dengan kecepatan seperti ini, kita akan sampai sebelum matahari terbenam!," seru Orion sambil menepuk-nepuk punggung Herra.
Naga itu pun menyahut dengan seruan nyaring. Keduanya terbang semakin jauh menembus awan-awan.
Memang hanya butuh waktu beberapa waktu saja bagi mereka untuk sampai ke kerajaan Zatyr. Saat memasuki wilayah Zatyr, matahari mulai condong ke ufuk barat. Orion membebaskan dirinya menikmati keindahan alam senja bermandi cahaya tembaga itu, lalu mengarahkan Herra menuju ke istana.
Herra terbang mengitari istana sekali sebelum Orion menuntunnya untuk mendarat di sebelah selatan istana, di antara rerumputan dan ilalang yang luas.
Begitu terbang mendekati bumi, gelombang udara yang dari sayap Herra menyibak kawanan ilalang.
Abner yang saat itu sedang memberi minum beberapa kuda, sampai terkejut dengan pendaratan tersebut di luar istalnya. Apalagi dengan kehadiran hewan raksasa bersayap yang selama ini hanya didengarkannya dari para penutur dongeng.
Pemuda itu lalu berjalan keluar istal untuk melihat lebih jelas pemandangan di padang ilalang, asal suara menderu barusan. Nampak Orion berjalan mantap ke arahnya sedangkan Herra mengekor perlahan di belakangnya.
Membaca pertanyaan-pertanyaan pada raut wajah Abner, Orion menyapa hangat.
"Aku datang dalam damai, Nak. Maaf, telah menyelinap masuk bukan dari pintu utama. Aku harus mencari tempat yang sedikit luas untuk nagaku.'
Abner terpaku sejenak.
"Jadi... makhluk itu benar-benar seekor naga, Tuan? Seumur hidup, aku baru kali ini melihatnya."
"Ya, tapi tidak usah takut. Dia naga yang manis,” sahut Orion. “Tapi sekarang mungkin sebaiknya kamu memanggil salah satu pengawal atau pegawai istana. Katakan, “Orion telah tiba sesuai permintaan raja.”
Ekspresi Abner berubah. Dia nampak terkejut lalu menunduk-nunduk dengan segan.
"Maafkan kelancangan saya, Tuan. Saya belum pernah bertemu anda sebelumnya, jadi tidak bisa langsung mengenali anda. Sekali lagi, maaf, Tuan. Oh ya, Mereka benar-benar sedang menunggu anda saat ini."
"Bagaimana kabar Tuan Putri?"
"Tuan Putri... dia masih tidak sadarkan diri, Tuan," terdengar nada getir pada suara Abner. "Saya akan segera melaporkan kedatangan anda pada pengawal. Tuan Orion harap menunggu sejenak, mari saya antar, Tuan."
Tetapi begitu Abner hendak berbalik untuk menuju ke Istana, beberapa prajurit berpakaian lengkap muncul dan menghampiri Orion. Sepertinya mereka melihat naga terbang Orion saat hendak mendarat tadi, sehingga mengetahui kalau Orion telah tiba.
"Selamat datang, Tuan Orion. Raja Philos telah menunggu," ucap salah satu Prajurit setelah menghadap Orion. Saat memandang Herra yang telah bersantai ria di atas rerumputan, ekspresi mereka sama dengan pada Abner sebelumnya.
"Mari ikut kami, Tuan."
Orion pun mengikuti mereka. Tetapi sebelum berlalu dari tempat itu, Abner mencegatnya.
"Maaf, Tuan. Bagaimana dengan naga anda? Bagaimana... aku menjaganya?"
Orion tersenyum.
"Tidak usah khawatir, Nak. Dia cukup pandai menjaga diri sendiri dan tidak akan kemana-mana jika tak kuperintahkan. Sebenarnya dia sudah makan cukup pagi ini, tetapi jika kamu bersedia menolong, bisa berikan saja belut, atau apapun yang bergerak di dalam air."
Abner mengangguk lalu mempersilahkan Orion melanjutkan langkahnya. Wajah Abner yang bersih dan tulus itu sedikit merona. Kehadiran Orion di tempat itu seperti memberinya semangat baru. Dia dan tentu saja semua orang di istana berharap Orion mampu memberi kabar gembira bagi mereka.
******
Suasana pertemuan Orion dan Raja Philos berlangsung hangat, lebih mirip reuni dua orang sahabat. Pada masa muda, mereka memang pernah bersama-sama menjadi murid pada satu angkatan pendidikan prajurit.
Kendati Orion berasal dari kaum penyihir, kedua orang tuanya kerap mengikutkannya pada perguruan milik kerajaan Zatyr. Harapan mereka, selain menguasai ilmu para penyihir, Orion juga memiliki pengetahuan dan keterampilan manusia pada umumnya. Ini berguna ketika kelak Orion menjadi generasi penerus kepemimpinan di Emerald.
Terbukti kemudian, pengetahuan-pengetahuan ini membantu keberhasilannya memimpin Emerald menjadi sebuah padepokan penyihir yang disegani di seantero Gopalagos.
Saat bersama menempuh pendidikan militer itulah, persahabatan Orion dan Philos muda terjalin. Orion adalah penerus generasi Emerald dan Philos dipersiapkan untuk menggantikan ayahnya menjadi raja Zatyr.
Saat menyelesaikan pendidikan, mereka mulai disibukkan dengan tugas dan jalan hidup masing-masing. Philos kemudian benar-benar memimpin Zatyr dan Orion memimpin Emerald. Keduanya hampir tidak pernah bertemu kembali.
Jadi keduanya bisa benar-benar menikmati perjumpaan mereka, walaupun kedatangan Orion terjadi karena masalah yang sedang menimpa putri sahabatnya itu.
Hari semakin gelap di luar sana. Angin dingin berhembus masuk di antara jendela-jendela istana yang masih terbuka.
Saat ini Orion bersama Raja Philos dan Tabib Sergios berada dalam kamar tidur Putri Talia, mengitari ranjang tidurnya. Di dekat pintu ada dua orang pelayan Tuan Putri yang bersedia, kalau-kalau Raja Philos membutuhkan sesuatu.
Keadaan Putri Talia masih seperti sebelumnya, tertidur dengan pulas dan dalam. Jika tidak diperhatikan secara seksama, semua orang pasti mengira putri cantik itu telah meninggalkan dunia.
Orion mengitari sisi-sisi ranjang dengan hati-hati.
“Sebelum masuk ke kamar ini, aku sudah merasakan energi sihir yang luar biasa,” ucapnya dengan serius.
“Jadi ini benar-benar sihir?” tanya Raja Philos.
“Iya, sahabatku. Aku yakin sekali.”
“Jadi, anda bisa menangkalnya, Tuan?” tanya Sergios kemudian.
“Sihir hitam ini begitu kuat. Aku harus mencari mantra penangkal yang tepat, jika tidak bisa berakibat fatal bagi Tuan Putri.”
Raja Philos mengangguk. “Apa kami bisa membantu? Apapun itu, yang penting kamu bisa secepatnya membangunkan putri tercintaku ini?” terdengar nada pilu dari suaranya.
“Entahlah, Raja. Jika benar kutuk yang ditiupkan pada Putri Talia adalah kutukan Tidur Abadi, rasa-rasanya hampir mustahil mencari mantra penangkalnya.”
“Tidur abadi?”
“Sekalipun tidak ada lagi penyihir yang menggunakannya saat ini. Kami para penyihir, terutama penyihir tua tetap harus mempelajari mengenai sihir hitam. Kalau-kalau suatu saat dibutuhkan.”
Orion berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ucapannya.
“Aku ingat beberapa sihir hitam yang tidak memiliki mantra penangkal. Kutukan Tidur Abadi itu salah satunya.”
Raja Philos terlihat semakin cemas.
---------
(bersambung)
Pertama kali ditayangkan di Note FB penulis dalam rangka event
#TantanganMenulisNovel100HariFC
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H