*****
Laporan peristiwa di ujung pagi itu langsung membuat penghuni istana gempar.
Geraham Raja Philos menegang. Beberapa kerut halus di wajahnya semakin nampak saat dia menahan emosi seperti saat ini.
Putri satu-satunya, kesayangannya, sudah berada di dalam kamar tidurnya, tetapi masih tetap tidak sadarkan diri. Sementara itu, dia sedang menimbang-nimbang hukuman apa yang tepat diberikan kepada dua prajurit pengawal yang dianggapnya lalai. Juga mungkin kepada Abner, sekalipun menurut cerita pengasuh kuda itu, dia sebenarnya tidak menanggung kesalahan besar.
Dari tepi jendela lantai tiga gedung Thereos, bangunan yang berisi kamar-kamar dan ruang privat keluarga kerajaan, Raja Philos memandang beberapa pegawai kerajaan sedang berjalan tergesa-gesa dari arah selatan istana. Di belakang mereka, sosok tua berjubah panjang nampak berusaha mengimbangi kecepatan melangkah orang-orang di depannya dengan susah payah.
“Ah, akhirnya tabib kita datang juga.” Raja Philos setengah berseru. Suaranya berat seperti guruh yang di langit mendung. “Kalian jangan kemana-mana dulu sampai aku kembali!” titahnya pada dua prajurit pengawal yang sedang tertunduk penuh sesal di sudut ruangan.
Raja Philos segera keluar dari ruangan itu.
Kamar tidur Talia yang cukup lapang nampak ramai. Perhatian tamu-tamu kamar tertuju pada sosok manis yang sedang terbaring di tengah ruangan. Raja Philos berada paling depan, di belakangnya ada Panglima Thar, beberapa prajurit pengawal dan beberapa gadis pelayan Tuan Putri. Di sisi yang berseberangan, Sergios, tabib istana nampak dengan hati-hati memeriksa keadaan Talia. Dia mengecek detak nadi, membuka pelupuk mata Talia dan memeriksa irama nafasnya.
Di sisi atas ranjang nampak sisa-sisa ramuan beraroma tajam yang tadinya digunakan untuk membangunkan Sang Putri.
Rambut panjang Sergios yang berwarna putih keperakan, bergoyang halus mengikuti irama gelengan kepalanya.
“Aneh, Paduka. Tuan Putri seperti sedang tertidur pulas. Belum pernah aku melihat orang tidur sedalam ini,” ucapnya hati-hati.