Sama gembiranya, Putri Talia menyambut tali kekang Heidy dan dengan sigap melompat ke atas pelana.
“Tuan Putri, saya mohon… izinkan saya memanggil prajurit pengawal untuk menemani anda.”
Dari atas kuda, Putri Talia memberi isyarat “tidak” dengan melambaikan telunjuknya.
“…atau paling tidak izinkan saya mengawal anda, jauh di belakang. Tuan putri tidak akan terganggu.”
Putri Talia berpikir sejenak.
“Itu kedengaran lebih baik. Tapi… percayalah, Abner. Aku akan baik-baik saja. Aku mengenal dengan baik seluruh hutan dan desa di sekitar istana.”
Abner tidak bergeming.
“Kalau begitu, anggap saja aku mencuri Heidy.”
Abner belum sempat menyahut tapi dengan sekali perintah, Putri Talia telah melesat bersama Heidy-nya, meninggalkan debu tipis di depan hidung Abner.
Tentu saja Abner panik. Dia tidak mau mengambil resiko dengan membiarkan Putri Talia sendirian. Dia pun buru-buru masuk ke istal untuk mengambil kuda tunggangan yang lain.
Putri Talia berkuda semakin jauh menerobos rumpun ilalang. Sebagian kembang ilalang masih kuyu diselimuti embun, namun sebagian yang telah dihangatkan matahari beterbangan dihempas derap kaki Heidy.