Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Gadis Kaleng Rombeng

9 November 2015   12:53 Diperbarui: 9 November 2015   12:53 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali terdengar gema rupiah koin yang berat menghempas kaleng rombengnya, gadis itu menoleh sejenak, lalu menyahut lirih “Terimakasih…” sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dadanya. Wajah dekilnya selalu berusaha memancarkan kehangatan, tapi sepertinya beban kehidupan yang harus dipikulnya lebih berat pengaruhnya.

Hari ini entah, sudah berapa kali “terima kasih” dia ucapkan. Kaleng rombeng itu sepertinya belum penuh terisi.

Matahari membakar bumi dengan edan. Dari warung minuman di ujung trotoar aku menyesap teh botol dingin seperti orang kesurupan. Setelah dahagaku ditukar dengan setengah botol teh, aku termangu  dan memandangi gadis itu lekat-lekat.

Jarak gadis itu dan warung ini hanya terpaut kurang lebih 20 meteran. Sebenarnya gadis itu cukup cantik, seandainya saja dia bersih terawat. Malah aku membayangkan, dia lebih cocok bersanding dengan desktop, ruang kerja full AC dan blazer mewah ketimbang duduk dengan baju compang-camping, di atas trotoar berpayung halte bekas dengan perangkat kerja sebuah kaleng rombeng untuk orang yang masih bisa menyisihkan rasa kasihan dan rupiah mereka. Sungguh ironis.

Bapak pedagang minuman dingin yang kusambangi sepertinya paham dengan arti tatapanku.

“Udah setahun lebih jadi peminta-minta di situ, mas. Kakaknya jualan roti di kedai sebelah situ. Setiap siang dibawain makanan, terus sore-sore dijemput, dibawa ke rumah. Pagi-pagi di-drop lagi buat ngemis…”

“Kok tega ya kakaknya?” sahutku.

“Yaah, gak tahulah, mas. Denger-denger sih setahun lalu, waktu ibunya di kampung meninggal, Sri langsung diboyong ke sini karena gak ada yang ngerawat lagi. Tapi mungkin karena kakaknya disini juga orang susah, yah disuruh ngemis biar ada tambah-tambah pendapatan gitu…,”

Sri….

Nama itu entah mengapa langsung terpatri di sela-sela sinapsis otakku.

Aku lalu membongkar tas butut yang setia menemaniku memburu berita, mengambil kamera lalu mengarahkannya ke wajah Sri. Setelah memilih exposure dan zoom yang tepat aku pun menjepret dan berhasil merekam sebuah momentum, saat dia kembali mengatupkan tangan pada seorang pria kekar mengenakan rompi jeans yang barusan menyumbangkan rupiahnya.

“Ada yang aneh dari ekspresinya,…,” batinku.

Seolah bisa membaca pikiranku, bapak pemilik warung berujar lagi…

“Hanya kasihan mas, dia sudah buta sejak lahir….,”

 

************ 

Hari ini aku meliput sebuah event yang dihelat Kepolisian Daerah kami. Kebetulan masih satu kawasan dengan tempat pertama kali aku melihat gadis kaleng rombeng. Maka usai meliput, aku kembali mampir ke warung yang sama, memesan minuman botol yang sama, duduk di atas bangku kayu yang sama dan memandang lurus ke arah halte bekas yang sama. Segala sesuatunya masih seperti nampak tiga hari yang lalu. Hanya ada yang berbeda, tidak ada lagi gadis kaleng rombeng itu disitu.   

Ada satu hal lagi yang berbeda. Bapak pemilik warung yang biasanya ramah, siang ini nampak aneh. Aku menatap matanya saat mengantar teh botol pesananku. Tiga hari lalu, bapak ini seperti cenayang, mampu membaca setiap pertanyaanku sebelum aku mengucapkannya. Tapi hari ini dia seperti ditelan kebisuan, padahal aku punya banyak pertanyaan.

“Ehm, maaf pak, sudah berapa lama Sri tidak ngemis?”

Aku memberanikan diri bertanya. Jawaban bapak itu kemudian justru membuat bingung.

“Mas, nggak tahu?”

Aku terdiam sejenak, “Tidak-lah, pak….,”

“Mas, benar-benar gak tahu??”

Aku bertambah bingung, dan mencoba membaca pikiran bapak itu.

“Saya memang wartawan, pak. Tapi tidak mungkin tahu semua peristiwa yang terjadi…”

Dia menggeleng kecil.

“Bukan seperti itu maksud saya. Tiga hari lalu, setelah mas jeprat-jepret dan pergi dari sini, Sri kena musibah,”

Aku terkejut.

“Dari mobil sedan putih yang berhenti mendadak di depan halte itu, keluar dua orang pria lalu menarik Sri masuk ke dalam mobil. Sri memang sempat berteriak minta tolong, tapi semuanya terjadi cepat sekali. Sedan itu tahu-tahu kabur entah mengarah kemana.”

Detak jantungku meninggi.

“Yang bikin sedih, malam harinya Sri ditemukan di belakang pasar dalam keadaan setengah sadar, setengah telanjang. Sepertinya dia baru habis diperkosa habis-habisan…. Semenjak itu Sri selalu histeris sehingga tidak diijinkan keluar rumah lagi.”

Entah mengapa dalam sekejab rasa amarah membuncah dalam kepalaku.

“Saya sempat berpikir mas ada hubungannya dengan kejadian itu…”

Aku tidak tertarik menanggapi tuduhan kejam itu, karena pikiranku tiba-tiba memaksaku kembali membongkar tas bututku. Tergesa-gesa, membuat aku tak sengaja menjatuhkan teh botol yang belum kuminum sama sekali. Tapi aku tetap tak peduli.

Aku kembali memutar gambar Sri yang aku ambil tiga hari lalu. Gambar Sri yang mengatupkan tangan dan…. pria kekar itu.

Aku memperbesar gambarnya. Pria itu nampak menyamping, memang menatap Sri dengan dalam.  Ada kilatan aneh dari mata pria itu, seperti kilatan mata iblis yang sedang mengincar buruan berikutnya. Mungkinkah…??

 

________________________________________________________

 

ilustrasi gambar dari: hqwalls4u.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun