Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kok Kamu Rasis Sih?

21 Agustus 2019   16:05 Diperbarui: 29 Agustus 2019   10:51 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam beberapa minggu terakhir kita disuguhkan beberapa pertunjukan publik yang bermuatan SARA. Dari komentar rasis Zakir Naik di Malaysia, jawaban Ustad Abdul Somad yang menyerempet kekristenan, hingga pengepungan Asrama Papua di Surabaya yang dihujani umpatan rasis.

Semua sinyalemen ini membuktikan satu hal: 

Rasisme ternyata belum punah dari masyarakat modern yang beradab. 

Bahkan di negeri Eropa yang dianggap garda terdepan civil society, tindakan pelecehan (abuse) atas dasar rasisme masih marak. Umpatan rasial kerap dilontarkan dalam kompetisi sepakbola di sana.

Mengapa "penyakit" rasisme (dan masalah sosial berdasar golongan lainnya) tidak kunjung hilang dari dunia ini? Apa yang membuat seseorang mudah melontarkan perkataan-perkataan rasial, seperti dalam pengepungan Asrama Papua itu?

Beberapa Kompasianer telah menawarkan pandangannya dengan baik. Dalam kesempatan ini, saya hendak meninjau dilema di atas melalui perspektif psikologi.

Rasisme, di antara semua definisi yang lain, merupakan suatu gejala psikologis, yaitu sebuah mekanisme pertahanan diri (defense-mechanism) yang disebabkan perasaan cemas (anxious) dan gelisah (insecure).

Sebagai mekanisme pertahanan diri, gejala rasisme berkembang secara bertahap. 

Pertama, seorang yang insecure atau jatidirinya lemah cenderung mencari dan melekatkan dirinya kepada suatu kelompok untuk memperkuat identitas dirinya. Dengan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya, orang tersebut merasa diterima dan penting.

Pengidentifikasian dengan kelompok ini membawa kepada tahap kedua. Didorong "utang budi" karena diterima dalam kelompok, subjek kemudian mengembangkan rasa benci kepada kelompok lain. Ia merasa perlu melakukan suatu kebaikan bagi kelompoknya.

Demikianlah, para anggota ormas yang meneriakkan diksi rasisme terhadap mahasiswa yang terkepung merasa telah melakukan sesuatu yang baik terhadap kelompoknya. Di saat yang sama, subjek ingin agar identitas barunya di dalam kelompok termanifestasi dengan jelas.

Dalam tahap ini, pelaku rasisme berhenti bersimpati terhadap anggota-anggota dari kelompok yang lain, dan memusatkan kepeduliannya hanya kepada sesama anggota kelompoknya. Ia bersikap mulia dan murah hati kepada keluarga dari anggota ormas yang sama, tetapi bengis terhadap anggota dari kelompok yang berbeda.

Kepedulian eksklusif terhadap anggota kelompok bukanlah sesuatu yang tanpa pamrih. Pemimpin dari kelompok yang rasis akan selalu berusaha menyenangkan telinga pendukungnya dengan mengumpankan pidato-pidato yang menyalahkan kelompok di luar mereka.

Seorang pemimpin agama yang tidak aware dengan kelemahan jiwanya rentan terjebak dalam siklus yang sentripetal (berpusat pada ego) tersebut.

Ia memberi apa  ingin mereka dengar agar mereka terus mengumpankan dukungan yang amat diperlukannya untuk membangun kepercayaan dirinya.

Fenomena transaksional ini jelas terlihat pada tokoh-tokoh fasisme dalam sejarah. Hitler, misalnya, dikenal sangat hangat terhadap putra-putri Joseph Goebbels, menteri propagandanya. Mukanya berubah penuh kebencian bila berbicara tentang orang-orang Yahudi.

Dalam tahap ketiga, subjek rasisme mengalami homogenisasi. Identitas dirinya menyatu dengan identitas kelompok. Itu berarti, sikap dan pola pikir individu senantiasa dikendalikan oleh asumsi dan prasangka-prasangka kelompok. Dalam bahasa sehari-hari kita menyebutnya orang-orang fanatik.

Tahap keempat adalah yang paling berbahaya karena bersifat destruktif. Dalam tahap ini subjek memproyeksikan kegagalan dan kelemahan-kelemahan pribadinya kepada kelompok lain untuk menghindari tanggung jawab.

Sebelum ia atau kelompoknya disalahkan, ia terlebih dulu menyalahkan orang lain. Kelompok lain selalu salah, sedangkan dia dan kelompoknya adalah korban.

Pada puncaknya, mereka berani menyerang, memfitnah, membakar, hingga membunuh sebagai ganti atas tuduhan yang diarahkan kepada mereka.

Kesimpulan yang didapat, individu yang mempunyai naluri narsistis yang kuat dan paranoid rentan terhadap "penyakit" rasisme. 

Sedangkan, orang-orang yang sehat secara psikologis tidak rasis karena tidak merasa perlu mengidentikkan dirinya dengan identitas suatu kelompok. Mereka tidak takut "terguncang" ketika menghadapi identitas yang berbeda (other) dari dirinya.

Maka, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Rasisme mengindikasikan jiwa yang "sakit". Di luar ia tampak perkasa, tetapi di dalam jiwanya terpecah-pecah. 

Ia begitu lemah sampai-sampai ia harus menyangkali kelemahan itu.

Rasisme bukan satu-satunya respons terhadap rasa gelisah atau kurang percaya diri. Mengonsumsi obat-obat terlarang, mabok-mabokan, merokok, atau bergaya hidup konsumtif adalah beberapa strategi menangani (coping strategy) yang lain.

Orang-orang yang jiwanya sehat tidak bersikap rasis seperti halnya mereka tidak bergantung kepada obat-obatan terlarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun