Dalam beberapa minggu terakhir kita disuguhkan beberapa pertunjukan publik yang bermuatan SARA. Dari komentar rasis Zakir Naik di Malaysia, jawaban Ustad Abdul Somad yang menyerempet kekristenan, hingga pengepungan Asrama Papua di Surabaya yang dihujani umpatan rasis.
Semua sinyalemen ini membuktikan satu hal:Â
Rasisme ternyata belum punah dari masyarakat modern yang beradab.Â
Bahkan di negeri Eropa yang dianggap garda terdepan civil society, tindakan pelecehan (abuse) atas dasar rasisme masih marak. Umpatan rasial kerap dilontarkan dalam kompetisi sepakbola di sana.
Mengapa "penyakit" rasisme (dan masalah sosial berdasar golongan lainnya) tidak kunjung hilang dari dunia ini? Apa yang membuat seseorang mudah melontarkan perkataan-perkataan rasial, seperti dalam pengepungan Asrama Papua itu?
Beberapa Kompasianer telah menawarkan pandangannya dengan baik. Dalam kesempatan ini, saya hendak meninjau dilema di atas melalui perspektif psikologi.
Rasisme, di antara semua definisi yang lain, merupakan suatu gejala psikologis, yaitu sebuah mekanisme pertahanan diri (defense-mechanism) yang disebabkan perasaan cemas (anxious) dan gelisah (insecure).
Sebagai mekanisme pertahanan diri, gejala rasisme berkembang secara bertahap.Â
Pertama, seorang yang insecure atau jatidirinya lemah cenderung mencari dan melekatkan dirinya kepada suatu kelompok untuk memperkuat identitas dirinya. Dengan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya, orang tersebut merasa diterima dan penting.
Pengidentifikasian dengan kelompok ini membawa kepada tahap kedua. Didorong "utang budi" karena diterima dalam kelompok, subjek kemudian mengembangkan rasa benci kepada kelompok lain. Ia merasa perlu melakukan suatu kebaikan bagi kelompoknya.
Demikianlah, para anggota ormas yang meneriakkan diksi rasisme terhadap mahasiswa yang terkepung merasa telah melakukan sesuatu yang baik terhadap kelompoknya. Di saat yang sama, subjek ingin agar identitas barunya di dalam kelompok termanifestasi dengan jelas.