Kata "makar" menjadi buah bibir bangsa kita belakangan ini. Individu dan kelompok tertentu diyakini tengah bersiasat untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi yang sah.Â
Konon, puncaknya akan dilangsungkan pada 22 Mei dalam bentuk pamer massa berkedok "people-power".
Banyak yang menuding pemerintah over-reactive terhadap kubu oposisi. Menciduk individu-individu yang menyuarakan "makar" dan "people-power" dianggap sama dengan memberangus kebebasan berpendapat.
O, betapa kelirunya. Dan, kekeliruan ini merupakan bukti bahwa generasi muda kita awam terhadap sejarah.
Padahal, orang-orang bijak di zaman dulu telah berulang kali memberi peringatan. "Jangan sekali-kali melupakan sejarah." "Sejarah cenderung mengulang dirinya sendiri." Mengapa?
Karena mereka menyadari bahwa natur manusia di sepanjang zaman tetap sama: hatinya haus kekuasaan. Maka, penting bagi kita untuk mempelajari sejarah yang buruk supaya dapat mengantisipasi bahayanya di masa depan.
Natur manusia di sepanjang zaman tetap sama: hatinya haus kekuasaan.
Berkuasa Melalui Makar
Lahir pada 29 Juli, 1883 di Dovia, Predappio, Benito Mussolini telah menunjukkan bakat intelegensia yang tinggi sejak kecil. Ia melahap semua tulisan filsuf-filsuf Eropa semisal Immanuel Kant, Georges Sorel, Spinoza, Friedrich Nietzsche, dan Karl Marx.
Dalam usia dua puluhan, Mussolini muda bekerja untuk berbagai surat kabar. Sebagai jurnalis, ia memanfaatkan posisi itu untuk menyatakan pendapatnya yang ekstrem.
Sejak semula ia meyakini kekerasan adalah cara terbaik untuk mencapai perubahan, terutama bila berkaitan dengan kesejahteraan pekerja. Pandangannya begitu ekstrem sehingga Partai Sosialis memecatnya.
Sakit hati, Mussolini menjadi-jadi. Pada akhir 1914 ia merintis sebuah surat kabar bertajuk "Rakyat Italia". Di dalamnya ia gencar mempropagandakan ultra-nasionalisme dan militerisme yang berbasis kekerasan.
Ternyata, banyak yang terpukau. Ditambah, ia juga piawai berpidato. Tak ada yang dapat menandingi gaya pidatonya yang berapi-api. Maka, kian hari jumlah pendukungnya kian bertambah.
Untuk melegitimasi filsafat militeristisnya, ia membentuk pasukan paramiliter yang terkenal dengan seragam hitamnya. Ia mulai menyebut dirinya "Il Duce" (Sang Pemimpin). Pola-pola ini kelak ditiru oleh Hitler yang terang-terangan mengaku terinspirasi olehnya.
Tugas utama pasukan "seragam hitam" adalah meresapkan teror di masyarakat. Tujuannya tidak lain adalah untuk melemahkan legitimasi pemerintahan Raja Victor Emmanuel III.
Il Duce menciptakan kesan bahwa pemerintahan Victor Emmanuel tidak kompeten. Sejak Perang Dunia I, negeri mereka mengalami kemunduran. Bangsa-bangsa asing merampok kekayaan tanah air. Ibu pertiwi diperkosa.
Ketika rakyat merasa terkepung oleh krisis, ia menawarkan cintanya yang mendalam kepada ibu pertiwi. Apakah "propaganda" semacam ini terdengar familier bagi Anda?
Ketika rakyat merasa terkepung oleh krisis, ia menawarkan cintanya yang mendalam kepada ibu pertiwi.
Mereka membakar gedung-gedung pemerintah lalu menuding pihak lain yang membuat kekacauan. Hoaks dan play-victim adalah bagian dari strategi mereka. Pada zaman itu belum dikenal istilah "firehose of falsehood".
Sebagai puncak dari propaganda yang sistematis itu, Mussolini mengerahkan pasukannya. Tidak kurang dari 30 ribu jemaah Fasis memasuki ibukota menuntut "revolusi"; kata sandi mereka untuk "makar".
Tidak kurang dari 30 ribu jemaah Fasis memasuki ibukota menuntut "revolusi"; kata sandi mereka untuk "makar".
Raja tidak berkutik. Demi keselamatan bangsanya, ia harus merelakan kekuasaan ke tangan kaum Fasis. Pada 29 Oktober 1922, Mussolini diangkat menjadi perdana menteri, yang termuda sepanjang sejarah Italia.
Setelah meraih kekuasaan, segala lawan politik mereka lenyap tak berbekas. Awan mendung menutupi seluruh Italia.
Siapa Menabur Teror, Menuai TerorÂ
Babak final pemerintahan teror Mussolini dimulai sepuluh hari sebelum kematiannya. Pada 18 April 1945, Mussolini tiba di Milan pukul 7 malam.
Pada tahun itu, sebagian besar Italia sudah dikuasai Sekutu. Beruntung, Mussolini diselamatkan oleh Jerman Nazi. Hitler ingin agar ia melanjutkan perlawanan di Italia Utara.
Kendati demikian, ada rumor yang beredar bahwa Jerman sebenarnya berencana menyimpan Mussolini sebagai alat negosiasi bila mereka kalah kepada Sekutu.
Mendengar itu, Il Duce segera meninggalkan Milan. Ia membawa serta Claretta Petacci, selingkuhannya, dan beberapa petinggi Partai Fasis. Rencananya mereka akan menyeberang ke Swiss. Ia bermimpi dapat menghabiskan hidupnya dalam suaka di negara yang terkenal netral itu.
Ia bermimpi dapat menghabiskan hidupnya dalam suaka di negara yang terkenal netral itu.
Diktator gundul itu membaur di antara iringan-iringan tentara Jerman yang sedang menuju perbatasan. Mengenakan helm dan mantel tentara Jerman, Il Duce duduk di dalam truk angkatan udara Luftwaffe.
Sayang, sekalipun telah berpura-pura mabuk, seorang simpatisan Sosialis mengenalinya. Bagaimana tidak? Bertahun-tahun poster wajahnya telah memenuhi tembok-tembok di seantero Italia. Wajahnya yang familier justru menjadi kutukan baginya.
Wajahnya yang familier justru menjadi kutukan baginya.
Esok paginya, ia dan Claretta digiring ke sebuah rumah peternakan di dekat danau Como. Sebuah regu tembak sudah menanti. Kata-kata terakhirnya: "Jangan! Jangan!"
Akhir dari Ambisi Sang Pemimpin
Pada jam 3 subuh, 29 April 1945, sebuah truk kuning berhenti di Piazzale Loreto, sebuah alun-alun simpang lima di kota Milan, Italia. Di lapangan yang sama setahun sebelumnya, rezim Il Duce mengeksekusi 15 orang yang dianggap anti-Fasisme.
Dalam kabut pekat pagi itu, mayat Mussolini dilemparkan dari dalam truk, diikuti 16 mayat laki-laki lain dan sebuah mayat perempuan. Sebuah ironi sejarah dipertontonkan dengan lugas.
Mayat Mussolini dilemparkan dari dalam truk, diikuti 16 mayat laki-laki lain dan sebuah mayat perempuan.
Pada pukul 8, stasiun radio oposisi "Milan Merdeka" menyiarkan pengumuman bahwa iblis gundul itu telah mati dan mayatnya tersedia untuk dicerca di "Lapangan 15 Martir."
Segera berbondong-bondong orang berkumpul untuk memberikan pelecehan terakhir. Kedelapan belas mayat itu habis diinjak-injak. Tidak terhitung ludah dan dahak di sekujur tubuh mereka.
Dua orang menendang rahang Mussolini sampai lepas dari engselnya. Satu matanya copot. Seorang perempuan menembak kepalanya dengan pistol lima kali. Katanya, satu peluru mewakili setiap putranya yang mati terbunuh dalam perang yang disulut rezim Mussolini sejak 1935. Sebuah karung dibakar dan dilemparkan ke wajahnya.
Seorang perempuan lain tanpa malu jongkok lalu mengencingi wajah mayat yang rusak itu. Seorang laki-laki menyumpal mulutnya yang menganga dengan bangkai tikus. "Ayo pidato sekarang!" teriaknya berulang-ulang. Namun, amuk massa belum reda.
Ketika seorang mengangkat mayat Mussolini untuk mempertontonkannya, orang-orang berteriak-teriak: "Lebih tinggi! Lebih tinggi! Biar dilihat semua! Gantung saja seperti babi!" Segera, mayat Musolini, selingkuhannya, dan empat yang lain diikat dan digantung terbalik di tiang-tiang bekas stasiun minyak.
Lepas tengah hari, karena desakan dari Gereja Katolik dan militer Sekutu yang mulai berdatangan, mayat-mayat itu diturunkan dan diotopsi. Penyebab kematian Mussolini ditetapkan: empat lubang peluru bersarang di dekat jantungnya.Â
Itulah akhir dari ambisi sang mantan Pemimpin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H