Sejak semula ia meyakini kekerasan adalah cara terbaik untuk mencapai perubahan, terutama bila berkaitan dengan kesejahteraan pekerja. Pandangannya begitu ekstrem sehingga Partai Sosialis memecatnya.
Sakit hati, Mussolini menjadi-jadi. Pada akhir 1914 ia merintis sebuah surat kabar bertajuk "Rakyat Italia". Di dalamnya ia gencar mempropagandakan ultra-nasionalisme dan militerisme yang berbasis kekerasan.
Ternyata, banyak yang terpukau. Ditambah, ia juga piawai berpidato. Tak ada yang dapat menandingi gaya pidatonya yang berapi-api. Maka, kian hari jumlah pendukungnya kian bertambah.
Untuk melegitimasi filsafat militeristisnya, ia membentuk pasukan paramiliter yang terkenal dengan seragam hitamnya. Ia mulai menyebut dirinya "Il Duce" (Sang Pemimpin). Pola-pola ini kelak ditiru oleh Hitler yang terang-terangan mengaku terinspirasi olehnya.
Tugas utama pasukan "seragam hitam" adalah meresapkan teror di masyarakat. Tujuannya tidak lain adalah untuk melemahkan legitimasi pemerintahan Raja Victor Emmanuel III.
Il Duce menciptakan kesan bahwa pemerintahan Victor Emmanuel tidak kompeten. Sejak Perang Dunia I, negeri mereka mengalami kemunduran. Bangsa-bangsa asing merampok kekayaan tanah air. Ibu pertiwi diperkosa.
Ketika rakyat merasa terkepung oleh krisis, ia menawarkan cintanya yang mendalam kepada ibu pertiwi. Apakah "propaganda" semacam ini terdengar familier bagi Anda?
Ketika rakyat merasa terkepung oleh krisis, ia menawarkan cintanya yang mendalam kepada ibu pertiwi.
Mereka membakar gedung-gedung pemerintah lalu menuding pihak lain yang membuat kekacauan. Hoaks dan play-victim adalah bagian dari strategi mereka. Pada zaman itu belum dikenal istilah "firehose of falsehood".
Sebagai puncak dari propaganda yang sistematis itu, Mussolini mengerahkan pasukannya. Tidak kurang dari 30 ribu jemaah Fasis memasuki ibukota menuntut "revolusi"; kata sandi mereka untuk "makar".
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!