Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kampanye Berbentuk SMS Kaleng, Etiskah?

13 April 2019   10:36 Diperbarui: 13 April 2019   12:04 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SMS yang baru saya dapat pagi ini. Sumber: dokumentasi pribadi

Pagi ini, setelah melakukan sejumlah aktivitas remeh, saya kembali ke kamar untuk memeriksa ponsel.

Ting tong, sebuah SMS kebetulan masuk. Pada notifikasi tertulis nama pengirim: "Ayo Nyoblos". Dalam hati terbersit sebuah asumsi: paling-paling himbauan pemerintah agar tidak golput. 

Begitu dibaca, sungguh jauh dari dugaan. Ini bukan himbauan pemerintah, melainkan sebentuk kampanye dari kubu 01. 

Awalnya saya agak kesulitan dalam memahami logika isi beritanya. Katanya, dengan menunjukkan KTP, saya bisa mendukung program gizi anak Indonesia? Bagaimana mungkin?

Lazimnya, menunjukkan KTP merupakan syarat mengikuti sebuah promo. Menunjukkan KTP mengindikasikan kemungkinan memperoleh sesuatu secara gratis, bukan malah mengontribusikan sesuatu. 

Sebaliknya, pada umumnya kita memberi uang, waktu, atau tenaga, bila hendak terlibat dalam suatu program sosial. Sulit membayangkan bahwa kita telah berkontribusi sesuatu hanya dengan menunjukkan kartu identitas.

Akal sehat mencoba menyadarkan. "Sebentar, bukankah SMS ini seharusnya ajakan agar tidak golput? Kok, sekarang jadi kampanye gizi anak?" Sejenak ada perasaan tertipu. Namun, tidak sekecewa seperti ketika membeli burger di restoran cepat saji yang ternyata jauh lebih kecil dari iklannya.

Semua potongan baru menyatu dan masuk akal setelah membaca klausa pamungkasnya: "Coblos 01!"

Oalah. Ini dari kubu TKN tho?

Saya segera teringat dengan agenda kampanye akbar Jokowi-Ma'aruf pada hari ini di Gelora Bung Karno. Acara pamungkas ini diyakini akan menyedot perhatian nasional. Apakah ada korelasinya?

Tampaknya SMS yang saya terima merupakan usaha TKN Jokowi-Ma'aruf yang tidak ingin mengabaikan para pendukungnya di Manado. Di waktu yang sama, mereka terus berusaha mempengaruhi swing-voters yang masih galau. 

Saya berandai-andai, bagaimana kalau SMS ini ternyata sampai di gawai pendukung 02? Namanya SMS, dia tidak terbendung. Dia bisa masuk kapan saja bagai burung pipit. Tiba-tiba saja dia sudah bertengger di ponsel kita.

Mungkin ini bukan pertama kalinya "SMS kaleng" menyusup di piranti seluler kita. Sampai sekarang, hampir setiap hari saya mendapat pesan-pesan iklan, entah itu promo donat, paket internet, dll. Yang paling sering tentu saja SMS yang menawarkan kredit tanpa agunan. Jenis seperti ini tidak jelas pengirimnya.

Sebagai pemilik nomor lama, seringkali saya tidak berdaya menghadapi SMS-SMS kaleng seperti itu. Pernah saya melaporkan ke pusat layanan sang provider, tetapi tindak lanjutnya lama dan proses administrasinya rumit. Padahal, itu baru melaporkan satu nomor saja. Tidak terbayang bila saya harus mengadu setiap hari.

Maka, umumnya saya abaikan saja SMS-SMS seperti itu. Lagipula, berapa banyak sih orang yang masih berkutat dengan SMS di zaman ini? Sekalipun harganya sudah mendekati gratis, kita lebih sering memakai aplikasi chatting untuk berkorespondensi.

Namun, menurut saya, tetap saja "SMS kaleng" adalah praktik yang tidak etis. Ini berhubungan dengan adab berkomunikasi. Bayangkan, Anda sedang berbicara dengan ibu Anda, lalu tiba-tiba seorang pramuniaga (salesman) mempresentasikan produknya. Tidakkah Anda kesal? 

Mungkin analoginya kurang pas. Anda tidak sedang berbicara di telepon ketika SMS itu masuk. Katakanlah Anda sedang menanti berita tertentu di aplikasi WA Anda. Nah, itu seperti Anda menunggu seseorang di gerbang kedatangan terminal, lalu didatangi pedagang batu akik yang langsung nyerocos sambil memperlihatkan koleksinya.

Jangan salah paham. Saya tidak bermaksud mendiskreditkan profesi salesman atau pedagang apapun. Saya dulu juga seorang salesman keliling. Hanya saja, saya percaya bahwa setiap orang terikat dengan adab berkomunikasi dalam bermasyarakat, entah itu pedagang atau bukan. 

Kembali ke soal SMS yang saya terima pagi ini; sebenarnya saya melihat sudah ada iktikad untuk bersikap sopan. Sang pengirim, yang saya asumsikan, adalah bagian dari TKN Jokowi-Ma'aruf, memberi pilihan apabila penerima tidak berkenan menerima SMS-SMS selanjutnya dari mereka. 

Alangkah baiknya bila opsi itu ditawarkan sebelum SMS itu bertengger di ponsel saya. 

Bagaimana hal itu bisa dilakukan, saya tidak tahu. Yang saya tahu, hal itu mungkin dilakukan. Amat mungkin.

Seringkali dalam kondisi saldo tidak mencukupi, saya masih dapat menelepon istri saya. Caranya? Operator "Veronica" menawarkan pilihan apakah calon penerima bersedia menerima panggilan dengan biaya dibebankan kepadanya. Perlakuan yang sama tentu dapat dikondisikan pada moda SMS.

Secara pribadi, SMS kampanye pagi ini tidak banyak memengaruhi pilihan saya. Sejak awal saya sudah menetapkan bahwa orang baik layak diganjar dua periode.

Hanya saja saya berharap agar modus-modus SMS kaleng segera punah. 

Catatan kaki.

Setelah yang pertama, saya kembali menerima SMS dari pengirim yang sama.

screenshot-20190413-112041-5cb165c895760e488d1dacf2.jpg
screenshot-20190413-112041-5cb165c895760e488d1dacf2.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun