Tampaknya SMS yang saya terima merupakan usaha TKN Jokowi-Ma'aruf yang tidak ingin mengabaikan para pendukungnya di Manado. Di waktu yang sama, mereka terus berusaha mempengaruhi swing-voters yang masih galau.Â
Saya berandai-andai, bagaimana kalau SMS ini ternyata sampai di gawai pendukung 02? Namanya SMS, dia tidak terbendung. Dia bisa masuk kapan saja bagai burung pipit. Tiba-tiba saja dia sudah bertengger di ponsel kita.
Mungkin ini bukan pertama kalinya "SMS kaleng" menyusup di piranti seluler kita. Sampai sekarang, hampir setiap hari saya mendapat pesan-pesan iklan, entah itu promo donat, paket internet, dll. Yang paling sering tentu saja SMS yang menawarkan kredit tanpa agunan. Jenis seperti ini tidak jelas pengirimnya.
Sebagai pemilik nomor lama, seringkali saya tidak berdaya menghadapi SMS-SMS kaleng seperti itu. Pernah saya melaporkan ke pusat layanan sang provider, tetapi tindak lanjutnya lama dan proses administrasinya rumit. Padahal, itu baru melaporkan satu nomor saja. Tidak terbayang bila saya harus mengadu setiap hari.
Maka, umumnya saya abaikan saja SMS-SMS seperti itu. Lagipula, berapa banyak sih orang yang masih berkutat dengan SMS di zaman ini? Sekalipun harganya sudah mendekati gratis, kita lebih sering memakai aplikasi chatting untuk berkorespondensi.
Namun, menurut saya, tetap saja "SMS kaleng" adalah praktik yang tidak etis. Ini berhubungan dengan adab berkomunikasi. Bayangkan, Anda sedang berbicara dengan ibu Anda, lalu tiba-tiba seorang pramuniaga (salesman) mempresentasikan produknya. Tidakkah Anda kesal?Â
Mungkin analoginya kurang pas. Anda tidak sedang berbicara di telepon ketika SMS itu masuk. Katakanlah Anda sedang menanti berita tertentu di aplikasi WA Anda. Nah, itu seperti Anda menunggu seseorang di gerbang kedatangan terminal, lalu didatangi pedagang batu akik yang langsung nyerocos sambil memperlihatkan koleksinya.
Jangan salah paham. Saya tidak bermaksud mendiskreditkan profesi salesman atau pedagang apapun. Saya dulu juga seorang salesman keliling. Hanya saja, saya percaya bahwa setiap orang terikat dengan adab berkomunikasi dalam bermasyarakat, entah itu pedagang atau bukan.Â
Kembali ke soal SMS yang saya terima pagi ini; sebenarnya saya melihat sudah ada iktikad untuk bersikap sopan. Sang pengirim, yang saya asumsikan, adalah bagian dari TKN Jokowi-Ma'aruf, memberi pilihan apabila penerima tidak berkenan menerima SMS-SMS selanjutnya dari mereka.Â
Alangkah baiknya bila opsi itu ditawarkan sebelum SMS itu bertengger di ponsel saya.Â
Bagaimana hal itu bisa dilakukan, saya tidak tahu. Yang saya tahu, hal itu mungkin dilakukan. Amat mungkin.