Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Khotbah Terakhir Tuanku Imam Bonjol

12 April 2019   19:40 Diperbarui: 13 April 2019   23:41 1700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam Tuanku Imam Bonjol. Sumber: situsbudaya.id

Jika kita ditanya, darimanakah asal pahlawan Imam Bonjol, rata-rata kita dapat menjawab: Sumatera Barat. Ini adalah sebuah pengetahuan yang kita hafalkan waktu kecil. Namun, mengenai dimana beliau wafat dan dimakamkan, saya tidak yakin semua kita tahu.

Kuburan Tuanku Imam Bonjol terletak di desa Lotta, kecamatan Pineleng, kabupaten Minahasa. Rumah yang saya tinggali saat ini masih satu kecamatan dengan makam itu.

Tampaknya tanah Minahasa merupakan salah satu tempat pembuangan favorit Belanda. Selain Imam Bonjol, di sini juga terdapat makam Permaisuri HB V (Manado) dan Kyai Mojo (Tondano). Pangeran Diponegoro juga pernah dibuang di sini sebelum dipindahkan ke Makassar.

Kompleks pemakaman Imam Bonjol cukup megah. Makam utamanya berarsitektur rumah gadang; satu-satunya di seluruh Sulawesi Utara.

Pada batu nisan sang pahlawan tertulis: "Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin bergelar Tuanku Imam Bonjol Pahlawan Nasional. Lahir tahun 1774 di Tanjung Bungo/Bonjol Sumatera Barat, wafat tanggal 6 November 1854 di Lota Minahasa, dalam pengasingan pemerintah kolonial Belanda karena berperang menentang penjajahan untuk kemerdekaan tanah air, bangsa dan negara".

Nisan Tuanku Imam Bonjol. Sumber: mimbar-rakyat.com
Nisan Tuanku Imam Bonjol. Sumber: mimbar-rakyat.com

Meskipun cukup panjang, tetapi rasanya masih terlalu sedikit informasi dalam baris-baris nisan itu. Maka, saya mulai menggali sumber-sumber di internet.

Muhammad Shahab adalah nama asli beliau. Terlahir sebagai putra dari Khatib (Pandito) Bayanuddin, sejak kecil ia ditakdirkan untuk menjadi ulama dan pemimpin masyarakat. Setelah menamatkan pendidikannya di Bumi Rencong, Aceh, beliau mendapat sejumlah gelar seperti Peto Syarif dan Malin Basa.

Nama Tuanku Imam Bonjol mencuat berkat palagan epik yang sering disebut sebagai Perang Padri.

Alkisah pada paruh pertama abad ke-19 terjadi perang saudara di dalam wilayah kerajaan Pagaruyung. Di satu sisi berdiri kaum Padri yang ingin menerapkan syariah Islam secara radikal. Berseberangan dengannya adalah kaum Adat yang moderat---dalam arti menjalankan hukum-hukum Islam secara longgar---termasuk beberapa kebiasaan musyrik.

Perang saudara di antara mereka berlangsung cukup lama (1803-1833). Karena kewalahan, kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda (1821). Tentu saja, kesempatan ini tidak disia-siakan Belanda yang menganut diktum divide et impera. Menyadari keputusan itu salah, pada tahun 1833, kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung dengan kaum Padri.

Tanda dari rekonsiliasi ini adalah Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Di situlah lahir kesepakatan "adat basandi syarak" (adat berdasarkan agama) yang lestari hingga saat ini.

Ada pelajaran penting yang bisa kita petik dari perubahan ini. Dikotomi golongan Adat dan golongan Padri mencerminkan situasi yang sama di zaman ini, yaitu antara Islam Nusantara dan Islam Fundamental (dalam arti hanya menjunjung syariat Islam). Ketegangan di antara keduanya selalu menciptakan konflik. Itulah yang terjadi pada tiga dekade awal perang Padri.

Namun, mereka sadar bahwa tidak selamanya permusuhan itu harus dipertahankan. Ketika datang ancaman dari luar, kedua kubu bersatu dan melupakan perbedaan-perbedaan di antara mereka.

Itu juga yang terjadi dalam rapat-rapat BPUPKI. Demi kesatuan Indonesia, kelompok Islam Fundamental berhenti memaksakan kalimat "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" disuntikkan ke dalam Pembukaan UUD 1945. Mereka tidak kompromi, hanya berhenti memaksakan iman mereka kepada orang lain.  

Bersatunya golongan Padri-Adat tentu membuat Belanda kewalahan. Selama empat tahun, mereka mati-matian menggempur koalisi tersebut. Puncaknya adalah serangan masif terhadap benteng Bonjol (1837). Sekalipun akhirnya jatuh, perlawanan rakyat Pagaruyung belum goyah.

Maka, Belanda mengubah strateginya. Tuanku Imam Bonjol harus ditangkap, apapun caranya. Disusunlah suatu siasat. Siasat yang sama yang terbukti ampuh menaklukkan Pangeran Diponegoro (1830).

 Sebuah undangan untuk berunding dikirim. Lokasinya di Palupuh. Tuanku berangkat dengan maksud untuk menghindari pertumpahan darah lebih banyak. Namun, di situlah sang pahlawan bersorban dijebak dan ditangkap.

Sketsa potret Tuanku Imam Bonjol. Sumber: republika.co.id
Sketsa potret Tuanku Imam Bonjol. Sumber: republika.co.id

Mula-mula ia diasingkan ke Cianjur, lalu ke Ambon (1839). Di situ ia bertemu dengan Apolos Minggu, seorang kopral. Kelak, ia menjadi pengawalnya yang setia sampai akhir hayatnya. Dua tahun di Ambon, Belanda memindahkannya ke Minahasa hingga akhir hayatnya. Makamnya kini dijaga oleh keturunan Apolos Minggu.

Pada era Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Sarundajang (2010-2015), keluarga Imam Bonjol pernah mengusulkan untuk memindahkan makam sang pahlawan ke tanah kelahirannya di Tanjung Bungo. Sarundajang menolak, sebab Imam Bonjol telah menjadi "orang Minahasa" selama 20 tahun terakhir hidupnya.

Meski menganut agama yang berbeda dan minoritas, penduduk Sulawesi Utara menerima dan mencintai Tuanku Imam Bonjol. Bagi mereka, siapapun yang melawan penjajah adalah saudara kandung dari rahim ibu pertiwi. Memang Belanda telah memanfaatkan tanah mereka sebagai tempat pembuangan, tetapi itu justru membuka mata mereka terhadap penderitaan saudara-saudara di pulau lain.

Saya sendiri mensyukuri keberadaan makam Tuanku Imam Bonjol di sini. Saya membayangkan, setiap anak Sekolah Minggu yang mengunjungi nisan ini akan bertanya, "Mengapa ulama dari Pagaruyung ada di tanah misionaris kita?" Lantas, pikiran mereka akan dibukakan terhadap perjuangan bangsa kita yang besar.

Jadi, dalam kesunyiannya, jasad sang pahlawan dapat terus mengkhotbahkan perjuangannya yang abadi: Persatuan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun