Perang saudara di antara mereka berlangsung cukup lama (1803-1833). Karena kewalahan, kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda (1821). Tentu saja, kesempatan ini tidak disia-siakan Belanda yang menganut diktum divide et impera. Menyadari keputusan itu salah, pada tahun 1833, kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung dengan kaum Padri.
Tanda dari rekonsiliasi ini adalah Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Di situlah lahir kesepakatan "adat basandi syarak" (adat berdasarkan agama) yang lestari hingga saat ini.
Ada pelajaran penting yang bisa kita petik dari perubahan ini. Dikotomi golongan Adat dan golongan Padri mencerminkan situasi yang sama di zaman ini, yaitu antara Islam Nusantara dan Islam Fundamental (dalam arti hanya menjunjung syariat Islam). Ketegangan di antara keduanya selalu menciptakan konflik. Itulah yang terjadi pada tiga dekade awal perang Padri.
Namun, mereka sadar bahwa tidak selamanya permusuhan itu harus dipertahankan. Ketika datang ancaman dari luar, kedua kubu bersatu dan melupakan perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Itu juga yang terjadi dalam rapat-rapat BPUPKI. Demi kesatuan Indonesia, kelompok Islam Fundamental berhenti memaksakan kalimat "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" disuntikkan ke dalam Pembukaan UUD 1945. Mereka tidak kompromi, hanya berhenti memaksakan iman mereka kepada orang lain. Â
Bersatunya golongan Padri-Adat tentu membuat Belanda kewalahan. Selama empat tahun, mereka mati-matian menggempur koalisi tersebut. Puncaknya adalah serangan masif terhadap benteng Bonjol (1837). Sekalipun akhirnya jatuh, perlawanan rakyat Pagaruyung belum goyah.
Maka, Belanda mengubah strateginya. Tuanku Imam Bonjol harus ditangkap, apapun caranya. Disusunlah suatu siasat. Siasat yang sama yang terbukti ampuh menaklukkan Pangeran Diponegoro (1830).
 Sebuah undangan untuk berunding dikirim. Lokasinya di Palupuh. Tuanku berangkat dengan maksud untuk menghindari pertumpahan darah lebih banyak. Namun, di situlah sang pahlawan bersorban dijebak dan ditangkap.
Mula-mula ia diasingkan ke Cianjur, lalu ke Ambon (1839). Di situ ia bertemu dengan Apolos Minggu, seorang kopral. Kelak, ia menjadi pengawalnya yang setia sampai akhir hayatnya. Dua tahun di Ambon, Belanda memindahkannya ke Minahasa hingga akhir hayatnya. Makamnya kini dijaga oleh keturunan Apolos Minggu.
Pada era Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Sarundajang (2010-2015), keluarga Imam Bonjol pernah mengusulkan untuk memindahkan makam sang pahlawan ke tanah kelahirannya di Tanjung Bungo. Sarundajang menolak, sebab Imam Bonjol telah menjadi "orang Minahasa" selama 20 tahun terakhir hidupnya.