Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Memeras Nostalgia, Menabur Asa

2 April 2019   19:11 Diperbarui: 3 April 2019   17:02 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah melewati usia tiga puluhan umumnya kita cukup bijak untuk dapat membandingkan kondisi antar zaman. Keahlian ini terkait dengan bekal pengalaman yang kita dapat setelah melewati tiga dekade yang berbeda. Kita bisa mengamati bahwa setiap era memiliki keunggulan dan kekurangannya, semarak dan kegelisahannya masing-masing.

Menurut definisi yang paling ringkas, zaman yang menawarkan lebih banyak kebaikan daripada keburukan dapat disebut sebagai "zaman keemasan" (golden-age). 

Bila bertemu dengan sesama alumni perguruan tinggi di Yogyakarta, seringkali saya mendapat kesan bahwa tahun 90-an adalah era terbaik untuk menimba ilmu di sana. Ketika itu makanan serba murah, mahasiswa-mahasiswinya bersepeda, minim polusi dan kejahatan; sangat kondusif untuk studi.

Sementara itu, menyimak foto-foto dan cerita-cerita "angkatan babe gue", sepertinya dekade 80-an adalah masa-masa yang paling menyenangkan; celana cutbray di mana-mana, lagu-lagu Beatles, Black Brothers, Farid Hardja yang riang menyesaki radio, nonton di bioskop lokal sudah terasa mewah. Tidak ada ponsel dan gawai yang mengganggu keintiman. Satu-satunya akar pahit: rezim Soeharto.

Zaman Keemasan Menurut Woody Allen

Bisa mengulangi hidup di zaman keemasan semacam itu merupakan impian terpendam yang hanya bisa direpresi. Namun, menurut Woody Allen, impian itu bisa diwujudkan setidaknya dalam bentuk sinema. Baginya, Paris pada dekade 1920-an adalah zaman keemasan.

Di dalam "Midnight In Paris" yang disutradarainya, Gil Pender, seorang penulis naskah sedang berlibur dengan kekasihnya di kota Paris. Di suatu malam, Gil menemukan dirinya tersesat di salah satu pojok di kota itu. Anehnya, pada tengah malam, sebuah mobil kuno datang menjemput dan membawanya ke era 1920-an. Di sanalah sejumlah artis dan penulis termasyhur dari zaman itu telah menanti.

Sumber: gonemovie.com
Sumber: gonemovie.com
Pertama, ia bertemu dengan Scott dan Zelda Fitzgerald, suami istri penulis novel This Side of Paradise dalam sebuah pesta kaum sosialita. Di pesta itu pula ia menyaksikan Cole Porter bermain piano sambil menembangkan "Let's Do It (Let's Fall in Love)". Scott kemudian membawanya menemui Ernest Hemingway, penulis novel-novel perang yang maskulin. Hemingway pulalah yang merekomendasikan Gil untuk berkonsultasi dengan Gertrude Stein, sang editor kenamaan.

Malam-malam setelah itu diisi dengan perjumpaan-perjumpaan lain yang fenomenal. Suatu kali Gil dijemput oleh T. S. Eliot, pujangga besar Amerika. Di lain waktu, ia berbincang-bincang dengan para dedengkot surealis: Salvador Dali, sang pelukis yang eksentrik, dan Luis Bunuel, sineas yang selalu bermimik serius. Ia sempat pula bertemu dengan Picasso, dan bahkan menjalin hubungan dengan kekasih gelapnya, Adriana.

Paris pada era 20-an merupakan pusat dunia. Legenda-legenda berbakat dari seluruh dunia berkerumun di kota itu untuk menghasilkan karya-karya novel humanis dan lukisan-lukisan avant-garde yang spektakuler. Mereka menawarkan kepada dunia obat penghiburan dan kelepasan dari penderitaan akibat Perang Dunia I.

Nostalgia Zaman Keemasan Era 90-an

Saya pribadi berpikir, era 90-an adalah sebuah zaman keemasan. Zaman ini menawarkan optimisme pasca runtuhnya sosialisme Soviyet. Meskipun cacat oleh peristiwa Mei 98, tetapi secara keseluruhan saya menikmati semua yang ditawarkan oleh hidup ketika itu. Mungkin sebagian besar generasi Y akan setuju.

Sumber: provoke-online.com
Sumber: provoke-online.com
Kami menikmati variasi hampir di semua lini. Program-program televisi beraneka ragam dan menemukan keseimbangan. Program-program impor yang bernuansa high-tech (Airwolf, Knight Rider, MacGyver) dan muda-sensual (Beverly Hills, Melrose Place, Friends, telenovela) bertemu dengan program-program lokal yang kocak dan sarat kekeluargaan (Lika-Liku Laki-Laki, Si Doel Anak Sekolahan, kuis Jari-Jari). Begitu pula dalam bidang fesyen (sepatu Doc-Mart, Neckermann, kaos Alien Workshop, celana Mambo, jam G-Shock, sepatu ATT berlampu).

goodyfeed.com 
goodyfeed.com 

 

Era 90-an juga layak disebut sebagai zaman yang ramah anak. Lagu anak-anak yang jenaka ("Semut-Semut Kecil", "Abang Tukang Bakso", "Si Lumba-Lumba", "Batman") diimbangi ragam tontonan film anak bertema wirawan (Power Rangers, Ksatria Baja Hitam, Jiban, Winspector, Dragonball). 

Masa-masa itu pula adalah zaman keemasan permainan fisik (petak umpet, roller-blade, tamiya, parasut, layangan, gasing, gambaran, tazos) meskipun tidak menyurutkan animo anak mencoba permainan digital (Gimbot, Tamagotchi).

Sumber: viral.id
Sumber: viral.id
Tidak pula berlebihan bila kita menyebut dekade 90-an sebagai zaman keemasan musik. Pada paruh kedua 90-an, genre-genre musik mengalami percabangan dan sekaligus kematangan (grunge, slow-rock, hip-hop, soul, britpop, dangdut).

Kehadiran MTv, yang dibonceng ANTV, memanjakan generasi Y dengan menyuguhkan video-musik berkelas dari artis-artis papan atas seperti Slank, Dewa19, Iwa K, Cool Color, ME, Oasis, Blur, Nirvana, dsb. 

Majalah Hai dan liputan Planet Remaja turut meledakkan energi kreativitas generasi muda. Pada puncak era ini, menjadi seorang VJ MTv adalah cita-cita kebanyakan remaja.

Ketika Kita Mulai Bernostalgia

Apa yang saya lakukan dengan mengais kenangan-kenangan di era 90-an dapat dikategorikan sebagai sebuah nostalgia.

Secara sederhana, "nostalgia" merupakan sentimen terhadap suatu periode di masa lalu atau tempat tertentu. Sentimen ini seringkali melibatkan dua perasaan yang kontradiktif. 

Di satu sisi ia membangkitkan sukacita yang positif mengingat masa-masa yang menyenangkan; di sisi lain kepahitan yang negatif karena menyadari bahwa masa-masa itu tidak akan pernah kembali lagi.

Gejala ini pada mulanya dianggap sebagai suatu penyakit mental. Orang-orang yang tidak tahan menghadapi masalah dan tekanan hidup dicurigai melarikan diri dengan cara bernostalgia.

Hari ini kita tidak lagi menganggapnya demikian. Bernostalgia memberikan kepada kita perspektif bahwa hidup tidak sesuram kelihatannya. Ada zaman keemasan yang dapat dirujuk sebagai pengharapan untuk masa depan. 

Dalam hal ini, nostalgia berlaku sebagai "sehnsucht" (istilah dari bahasa Jerman yang berarti "kerinduan"). Ketidakpuasan terhadap realitas yang cacat melahirkan kerinduan akan sebuah kondisi yang ideal.

Kerinduan ini seringkali dieksploitasi dalam masa-masa kampanye. Ingatan kolektif rakyat Indonesia digugah dengan nostalgia tentang kejayaan Nusantara di masa lampau. 

Pada Pilpres 2014 yang lalu, kubu Jokowi-JK berhasil menghidupkan narasi-narasi demikian, seperti mengembalikan zaman keemasan Majapahit dan Sriwijaya, memulihkan kedaulatan kerajaan maritim, merindukan sosok Ratu Adil atau Satria Piningit. Narasi yang nostalgis terbukti berdampak positif mengantarkan Jokowi-JK ke Istana.

Pada Pilpres kali ini kita tidak melihat lagi narasi-narasi serupa ditebarkan oleh kubu petahana. Pribadi yang cerdas tahu bahwa nostalgia tidak dapat menjadi bahan bakar semangat yang tahan lama. Nostalgia memiliki tanggal kadaluarsa.

C. S. Lewis dalam The Weight of Glory menulis, "These things--the beauty, the memory of our own past--are good images of what we really desire; but if they are mistaken for the thing itself they turn into dumb idols, breaking the hearts of their worshippers." 

Kita sering lupa bahwa kenangan yang indah dari masa lalu ibarat aroma dari bunga yang tidak lagi kita lihat, nada yang tidak kita dengar, atau negeri yang tidak pernah kita kunjungi.

Bagi jiwa yang sehat, nostalgia tidak lain adalah rujukan kepada utopia.

Carpe Diem

Dalam suatu adegan, Gil dan Adriana, entah bagaimana, tersasar ke sebuah kafe pada era yang lebih jadul. Di situ Adriana dengan cepat mengenali sosok-sosok artis dan penulis legendaris dari abad 19. Kebetulan, itulah zaman keemasan menurutnya. Ia tergoda untuk menetap di zaman itu.

Sang sutradara, Woody Allen, memakai momen ini untuk memakukan sebuah pesan yang transenden. 

Gil kemudian berkata kepada Adriana, "Jika kamu tinggal di sini, dan ini menjadi masa kinimu, maka segera kamu akan membayangkan masa lain yang kamu anggap adalah zaman keemasan. Itulah artinya masa kini; memang agak mengecewakan, karena hidup agak mengecewakan".

Ini adalah waktu yang tepat untuk meninggalkan sebuah pertanyaan reflektif kepada kita semua.

Mungkinkah saat ini kita hidup di sebuah zaman keemasan? Saya tidak bermaksud pesimis terhadap hal-hal yang lebih baik di masa depan. Namun, kita tidak boleh pula menegasi kemungkinan bahwa zaman ini dapat menjadi zaman keemasan yang akan dirindukan oleh generasi alfa, beta, gamma, dan seterusnya.

Bisa jadi generasi-generasi selanjutnya akan iri terhadap program-program televisi yang saat ini kita saksikan, fesyen yang kita kenakan, games dan gadget yang kita gandrungi, atau musik dan artis yang sedang berkarya di zaman ini. Atau, bisa jadi mereka akan membandingkan rezim yang sedang menguasai mereka dan iri terhadap kepemimpinan Jokowi saat ini.

Adalah sangat mungkin bahwa masa kini merupakan zaman keemasan Indonesia, menurut aturan definisinya sendiri. Yang dapat kita lakukan sekarang adalah merelakan diri mengikuti bujukan Horatius. "Carpe diem, quam minimum credula postero". Petiklah hari ini, dan percayalah sesedikit mungkin akan hari esok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun