Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Memeras Nostalgia, Menabur Asa

2 April 2019   19:11 Diperbarui: 3 April 2019   17:02 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara sederhana, "nostalgia" merupakan sentimen terhadap suatu periode di masa lalu atau tempat tertentu. Sentimen ini seringkali melibatkan dua perasaan yang kontradiktif. 

Di satu sisi ia membangkitkan sukacita yang positif mengingat masa-masa yang menyenangkan; di sisi lain kepahitan yang negatif karena menyadari bahwa masa-masa itu tidak akan pernah kembali lagi.

Gejala ini pada mulanya dianggap sebagai suatu penyakit mental. Orang-orang yang tidak tahan menghadapi masalah dan tekanan hidup dicurigai melarikan diri dengan cara bernostalgia.

Hari ini kita tidak lagi menganggapnya demikian. Bernostalgia memberikan kepada kita perspektif bahwa hidup tidak sesuram kelihatannya. Ada zaman keemasan yang dapat dirujuk sebagai pengharapan untuk masa depan. 

Dalam hal ini, nostalgia berlaku sebagai "sehnsucht" (istilah dari bahasa Jerman yang berarti "kerinduan"). Ketidakpuasan terhadap realitas yang cacat melahirkan kerinduan akan sebuah kondisi yang ideal.

Kerinduan ini seringkali dieksploitasi dalam masa-masa kampanye. Ingatan kolektif rakyat Indonesia digugah dengan nostalgia tentang kejayaan Nusantara di masa lampau. 

Pada Pilpres 2014 yang lalu, kubu Jokowi-JK berhasil menghidupkan narasi-narasi demikian, seperti mengembalikan zaman keemasan Majapahit dan Sriwijaya, memulihkan kedaulatan kerajaan maritim, merindukan sosok Ratu Adil atau Satria Piningit. Narasi yang nostalgis terbukti berdampak positif mengantarkan Jokowi-JK ke Istana.

Pada Pilpres kali ini kita tidak melihat lagi narasi-narasi serupa ditebarkan oleh kubu petahana. Pribadi yang cerdas tahu bahwa nostalgia tidak dapat menjadi bahan bakar semangat yang tahan lama. Nostalgia memiliki tanggal kadaluarsa.

C. S. Lewis dalam The Weight of Glory menulis, "These things--the beauty, the memory of our own past--are good images of what we really desire; but if they are mistaken for the thing itself they turn into dumb idols, breaking the hearts of their worshippers." 

Kita sering lupa bahwa kenangan yang indah dari masa lalu ibarat aroma dari bunga yang tidak lagi kita lihat, nada yang tidak kita dengar, atau negeri yang tidak pernah kita kunjungi.

Bagi jiwa yang sehat, nostalgia tidak lain adalah rujukan kepada utopia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun