Mohon tunggu...
Philia Novi Tiurma
Philia Novi Tiurma Mohon Tunggu... -

Penikmat kopi, pantai, dan diksi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tetap Membumi

31 Desember 2018   02:16 Diperbarui: 31 Desember 2018   02:37 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
memoar-random.blogspot.com

Tak kenal maka tak sayang. Bukankah ungkapan itu benar adanya? Maka ijinkan aku memperkenalkan diri terlebih dahulu . Akan kuceritakan sepenggal kisah hidupku yang sedari kecil telah dibentuk oleh wanita yang kusebut mamak.

Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Kehidupan ekonomi keluarga kami tergolong cukup. Akan tetapi, sedari kecil aku dan kedua adikku tidak pernah dimanjakan dengan berlimpahnya permainan, barang mewah maupun makanan mahal. Ingatanku masih sangat jelas bahwa semasa kecil, aku hanya memiliki sebuah boneka monyet berwarna coklat. 

Mungkin, itulah sebabnya mengapa aku tidak terlalu menyukai boneka saat ini. Sedangkan kedua adikku, mereka memiliki permainan senjata yang dapat mengeluarkan bunyi dan sebuah robot ultraman. Dikarenakan masa kecil kami tidak memiliki banyak permainan, maka lebih sering kami bermain dengan alam di sekitar.

Kuharap engkau mengerti perasaanku kala itu, saat tetanggaku menunjukkan permainan baru yang dimilikinya ketika berulang tahun. Tak kupungkiri, aku merasa iri terhadap tetanggaku. Mereka memiliki orang tua yang baik, tidak perhitungan dan sayang terhadap anak. Sedangkan aku dan kedua adikku hanya bisa tersenyum kecut menerima kenyataan bahwa mamak adalah orang yang pelit.

"Phil, aku udah punya komputer pentium dua loh" Devi sangat antusias bercerita kepadaku.

"Wah, kapan dibeli?" Tanyaku penasaran.

"Tadi malam. Kata bapakku supaya aku jago komputer"

Enaknya jadi Devi, pikirku. Terus-terusan membandingkan diri dengan orang lain, memang akan membuat kehidupan kita terlihat semakin menyedihkan.

Di ulang tahunku yang ke-17, orang tuaku memberikanku sebuah kado. Hal ini sangat jarang terjadi. Apabila ada anggota keluarga yang berulang tahun, biasanya kami hanya akan makan di luar tanpa pernah ada pemberian kado semacam ini.

"Selamat ulang tahun, nak!" (orang tuaku menciumku)

"Ini dari mamak dan bapak" (sambil menyerahkan sebuah ransel hitam yang lumayan berat)

"Laptop Toshiba!! Ini untukku?" (teriakku histeris, kemudian memeluk kedua orang tuaku)

"Iya, tapi jangan kasih tau temanmu kalau kau punya laptop" Ungkap mamak.

"Kenapa emangnya, mak?" Sanggahku.

Maklum saja, ketika aku kelas 12 di tahun 2012, laptop masih tergolong jarang dimiliki oleh orang di kampungku. Jadi, tentu saja aku ingin memamerkan kepada semua temanku bahwa aku memiliki laptop Toshiba ini.

"Bilang saja, laptop itu sudah bekas dan diberi oleh tantemu yang di Bandung" Jawab bapak.

"Tuh kan, selalu berbohong. Kenapa sih?" Nada suaraku meninggi.

"Bukan berbohong, nak. Kalian harus belajar menahan diri untuk tidak menceritakan hal-hal yang tidak perlu diceritakan. Nanti jadi sombong. Mamak gak mau seperti itu."

(aku diam karena masih kesal. Sebenarnya saat itu belum kupahami benar arti ucapan mamak)

Tetapi, aku tetap mengikuti perkataan orang tuaku agar tidak memberi tau kepada siapapun perihal kepemilikanku atas Laptop Toshiba itu.

(Empat tahun kemudian)

Saat ini aku sudah bekerja di luar pulau. Dengan keadaan raga terpisah dari orang tua, sering bagiku merindukan nasihat dan teguran yang diberikan mamak kepadaku. Sudah sedari belia aku diajarkan dan dibiasakan untuk tidak pamer atas pencapaian apapun yang kulakukan. Diajarkan untuk menjadi pribadi yang sederhana, sehingga hal tersebut terbawa sampai saat ini.

Di dunia kerja, aku melihat teman-temanku bersaing untuk dapat menunjukkan gaya hidup yang paling keren. Mereka saling membandingkan tabungan siapa yang paling besar, siapa yang paling banyak berhutang di bank, dll. Aku juga sudah terbiasa mendengar cerita heboh dari teman yang mengatakan bahwa ia ikut arisan satu juta per bulan. Mereka sangat sering mempertanyakan arisanku. Aku mengatakan bahwa aku hanya bergabung dengan arisan lima ratus ribu per bulan. Padahal, pada kenyataannya aku join sebanyak satu juta lima ratus ribu rupiah per bulan.

Tidak bermaksud membohongi orang-orang di sekitarku. Tetapi jika hal itu kemudian dapat menjadikanku sombong atau menimbulkan iri hati, lebih baik aku bungkam. Karena untuk menceritakan semua hal kepada semua orang, apakah itu dirasa bijak? Mari menjadi pribadi yang lebih baik lagi untuk mampu memikirkan apa yang pantas untuk diceritakan kepada khayalak.

Terima kasih mak atas nasihat yang diberikan sebagai bekalku menjalani kehidupan ini. Maafkan aku yang dulu tidak mampu memahami tujuanmu menegurku kala aku ingin pamer. Aku bersyukur memiliki ibu seperti dirimu. Petuah yang mamak berikan mengingatkanku untuk selalu rendah hati. Seperti padi yang makin berisi makin merunduk. Menjadi manusia yang terus membumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun