"Kenapa mungkin? Tidak beranikah dirimu berterus terang menjadi pasti?"
"Bagiku, di dunia ini tiada yang pasti selain ketidakpastian itu sendiri".
"Dari dulu kamu tidak pernah berubah. Selalu bisa menutupi apa saja yang sedang bergejolak di pikiranmu, terutama yang ada di hatimu".
Len, salah satu kawan terdekatku dan juga Amanda, menarik nafas. Tatapan mata yang tadinya penuh selidik menjadi redup yang kemudian dilanjutkan, "Kenapa harus mengingat dirinya? Bukankah dirinya sudah bahagia bersama kedua anak dan suaminya di Torino? Begitu juga dengan kita...".
"Kita?".
Secepat kilat aku menoleh,"Maksudnya?".
"Maaf. Aku keterlepasan bicara".
"Tunggu, kamu bisa melanjutkan perkataanmu yang tadi? Kalaupun tidak apa juga tidak masalah.. Setidaknya, kamu sudah jujur."
Len seolah ingin mengalihkan pembicaraan lain."Boleh aku bertanya?"
"Tentang?"
"Itu pun kalo dirimu mau menjawab..."