"Kisah Sang Rajawali dari Hambalang" bukanlah kisah burung nuri yang gila sanjung pujian dan manggut-manggut merengek minta dikasihani. Ia kisah burung yang gagah perkasa yang siap menghadapi terpaan badai gelombang yang menghantamnya.
Kita gampang mengadili seseorang. Sementara kita sendiri terkadang tidak fair dan bijak yang dengan begitu mudahnya dipengaruhi prasangka atau hanya dilandasi asumsi dalam mengadili seseorang.
Kita lebih gampang mencaci, memaki, menghujat dan mencari kesalahan dan mempersalahkan orang lain walau hanya didasari prasangka tanpa dukungan fakta dan bukti sekalipun.
Sementara kebaikan, jasa, keberhasilan, prestasi yang pernah diukir tidak pernah dipujikan dan acungan jempol, malah kalau perlu ditutup-tutupi dan dilewati seakan tak pernah ada. Dicari jeleknya buat dicaci, dihujat dan dipersalahkan, sebaliknya baiknya tidak dipujikan. Â
Stigmatisasi tudingan penculikan aktivis pro demokrasi ultra kanan, penembakan mahasiswa Trisakti, otak di balik kerusuhan Mei 1998, dan isu akan lakukan kudeta di tengah terjadinya krisis politik Mei 1998 inipun selalu dipergunjingan dijadikan konsumsi politik untuk menghadang dan menjegal melajunya mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad ini di Pilpres 2014.
Kini 'Sang Rajawali' bersama partainya Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) kepakan sayap terbang tinggi melayang mengarungi angkasa Indonesia Raya.
Dengan mengkibarkan semangat perubahan -- Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau tidak sekarang, kapan lagi? -- "Sang Rajawali" kembali terbang dengan kehormatannya sebagai seorang patriot menembus kabut malam, menguak cadar fajar, mendatangi matahari, meraih mimpi menjadi pembela kaum papa dan penggugah jiwa lara.
Tulisan "Kisah Sang Rajawali dari Hambalang" ini tidak dimaksudkan untuk membela dan membersihkan stigmatisasi yang ditudingkan kepada mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad sebagaimana tudingan orang paling bertanggungjawab atas peristiwa kasus penculikkan aktivis pro demokrasi ultra kanan, penembakkan mahasiswa Universitas Trisaksi - Jakarta, otak di balik kerusuhan Mei 1998, ataupun isu seputar rencana melakukan kudeta di hari-hari lengsernya Presiden Soeharto juga di Mei 1998.
Biarlah proses sejarah itu sendiri yang akan membelanya seiring perjalanan waktu. Karena sejarah itu sendiri tidak pernah mati. Â
Begitupun ketika kemudian dibilang bahwa semua peristiwa tersebut adalah sebagai "kehendak sejarah" atau sebagai jalan sejarah yang dihendaki. Dan ketika "kehendak sejarah" itu dihidupi bukan tidak mungkin interpretasi narasi ceritanya pun berkisah bergantung pada siapa yang memainkan kehendak sejarah itu sendiri.Â
Karena sejarah itu sendiri merupakan rangkaian peristiwa dan fakta yang bisa diwacanakan, diinterpretasikan dan dinarasikan. Semua itu berpulang pada siapa yang mewacanakan, menceritakan, mengopinikan, menuliskan, memberitakan, dan menghidupi semua rangkaian peristiwa dan fakta tersebut untuk dan demi kepentingan apa dan siapa. Bahkan tak jarang hal ini dilakukan untuk memenuhi kepentingan politik  pragmatis demi sebuah kekuasaan.