Di Keuskupan Jayapura, Agats, Manokwari-Sorong, Timika dan Keuskupan Agung Merauke, terutama di kota-kota, umat Katolik umumnya heterogen; sedangkan di kampung-kampung umumnya homogen OAP. Baik di kota-kota, maupun di kampung-kampung, bagaimana keterlibatan umat OAP di dalam rumah Gereja Katolik itu? Apakah OAP telah menjadi Subjek, Tuan Rumah, di dalam rumah Gereja Katolik Papua?
Pergilah ke kantor Keuskupan Jayapura di Dok II, kantor Keuskupan Agats di Agats, kantor Keuskupan Manokwari-Sorong di Sorong, kantor Keuskupan Timika di Timika, kantor Keuskupan Agung Merauke di Merauke; lihatlah ada berapa pegawai dan staf OAP yang bekerja di sana? Pergilah ke pastoran di paroki-paroki, ada berapa umat OAP bekerja di sana membantu Pastor dalam pelayanannya?
Pada hari Minggu, atau hari raya, siapa paling sibuk terlibat mengurus liturgi Gereja? Siapa sibuk menyiapkan altar dan peralatan Misa? Siapa menjadi misdinar? Siapa menjadi lektor dan akolit? Siapa tampil di bangku kor?
Kita harus mengakui dengan jujur bahwa kejayaan umat Katolik OAP berakhir sejak selesainya masa misionaris Eropa. Pada era Gereja Mandiri saat ini, yang sebagian besar kaum hierarkinya non-OAP, umat Katolik OAP secara sistematis dan terstruktur dijauhkan dari dalam rumah Gereja Katolik Papua! Terutama di kota-kota umat OAP disingkirkan dengan berbagai cara dan alasan. Kalaupun ada umat OAP yang terlibat, kita dapat pastikan itu karena status sosial tinggi, pejabat atau pengusaha.
Rumah Gereja Katolik Papua sedang tertutup bagi umat OAP yang sederhana dan tertindas! Tetapi, doa dan seruan umat Katolik OAP telah didengar oleh Tuhan Yesus, Kepala Gereja. Ia mengangkat Pastor putra asli Papua, RD. Â Yanuarius Theofilus Matopai You menjadi Uskup Keuskupan Jayapura. Di hati Uskup Yan, umat Katolik OAP meletakkan kunci harapan untuk membuka pintu-pintu rumah Gereja Katolik Papua yang tertutup itu!
Tinggal Bersama di Dalam Satu Rumah Gereja Katolik Papua
Seyogianya, gembala dan domba tinggal di dalam satu kandang! Demikian halnya, Uskup, Pastor dan kawanan domba seharusnya tinggal bersama di dalam rumah Gereja Katolik Papua. Tetapi, kenyataan memperlihatkan, acapkali gembala dan domba tidak tinggal di dalam satu kandang. Rumah Gereja Katolik Papua menjadi kosong. Secara fisik ada gedung gereja dan umat Katolik OAP, tetapi secara spiritual, keduanya terpisah jauh.
Keterpisahan gembala dan domba di Papua telah menciptakan jurang pemisah yang dalam. Gembala merasa diri seperti kaum elit, penguasa, pejabat, sedangkan kawanan domba terbuang, terkapar, bingung mau ke mana! Gembala dan domba tidak tinggal bersama sehingga keduanya tidak saling mengenal dan memahami satu sama lain.
Kekinian, kita melihat gembala dan domba berjumpa di media sosial facebook, grup WA, dll. Gembala dan domba saling kritik di pinggir jalan. Tidak jarang gembala dan domba saling menjatuhkan satu sama lain. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana saja: "gembala dan domba tidak tinggal di dalam satu rumah!"
Kehadiran Uskup OAP pertama di tanah Papua, Yang Mulia Uskup Yan You, Â sangat diharapkan menghancurkan tembok, pagar, yang memisahkan gembala dan domba! Menimbun jurang yang membuat jarak gembala dan domba menjadi jauh! Membuka kembali pintu rumah Gereja Katolik Papua, agar gembala dan domba dapat tinggal bersama!
Kebijakan pastoral sebaik apa pun yang digagas oleh gembala, apabila tidak dimulai dari tinggal bersama, berbicara dan berdiskusi bersama kawanan domba, pasti gagal. Kita telah melihat dan mengalami berbagai kegagalan pastoral selama ini. Kita melihat Gereja Katolik di Papua, secara khusus di Keuskupan Jayapura terkesan tertutup karena minim melibatkan umat Katolik OAP di dalam seluruh proses perjalanannya.