Situasi Papua saat ini tidak menguntungkan dari aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan keamanan. Orang Papua tidak bebas menjadi dirinya sendiri. Sebab, ekspresi menuntut keadilan dan kebebasan selalu dilihat sebagai bentuk makar dan separatis!
Di tanah Papua, Uskup, Pastor dan Pendeta selaku "Gembala" Â memiliki tanggung jawab moral terlampau berat untuk melindungi, memelihara dan merawat kawanan "domba" yang menderita itu.Â
Pilihan sikap berpihak pada orang Papua akan menimbulkan kecurigaan sebagai pendukung Papua Merdeka. Pilihan sikap diam, netral hanya menambah luka Papua. Dilema semacam ini, mendorong pada "Gembala" untuk meneguhkan hatinya dan menyatakan sikapnya!
Seyogianya, "Gembala" tak memiliki pilihan. Sebab, sejak menerima rahmat tahbisan Imamat suci, para "Gembala" telah mengikrarkan kesetiaan kepada Yesus.Â
Dia adalah Gembala yang baik! Karena itu, kegembalaan Yesus melekat di dalam diri para utusan-Nya saat ini. Karena itu, menjadi "Gembala" di Papua berarti siap sedia berpihak kepada orang Papua, yang berarti melintasi jalan penderitaan!
Kekhasan menjadi "Gembala" di Papua yaitu terpenuhinya  sabda Yesus, "Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala." (Lukas 10:3). Berkarya melayani orang Papua penuh tantangan dan risiko.Â
Gembala yang baik, tidak akan pernah lari meninggalkan domba-dombanya. Karena itu, menjadi "Gembala" di Papua membutuhkan sikap rela berkorban dan selalu siap sedia diterkam serigala demi melindungi domba-domba agar selamat. Â
Menjadi "Gembala" ideal yang dirindukan orang Papua dengan bersuara menentang pembunuhan terhadap orang Papua. Ia berani menolak perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit, tanaman industri serta pertambangan yang merusak alam Papua.Â
Ia tidak bersekutu dengan penguasa untuk menindas Papua! Suara kenabiannya bergema menembus mata yang buta dan telinga yang tuli terhadap penderitaan orang Papua.
Tetua Adat  dan "Gembala" Kolaborasi untuk Selamatkan PapuaÂ
Penderitaan Papua menggugah para pihak untuk berkolaborasi. Tak ketinggalan, adat dan Gereja. Sebab, keduanya telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup orang Papua. Adat dan Gereja berkolaborasi demi merawat hidup dan masa depan Papua.