Hari-hari di Papua terasa terlalu dekat pada kematian. Bukan hanya manusianya yang mati, tetapi juga budaya, adat, alam dan tempat-tempat keramat. Papua seolah-olah tidak bertuan, sehingga tidak ada yang mau peduli pada penderitaannya.Â
Padahal, sesungguhnya Papua memiliki tuan. Siapakah tuan itu? Di mana para tuan berada ketika Papua mengalami penderitaan dan kematian tak berujung?
Tetua Adat Pagar Pelindung Papua
Jauh sebelum agama Protestan dan Katolik datang ke Papua, orang Papua telah hidup dalam komunitas-komunitas yang dipimpin oleh tetua adat. Seluruh aktivitas komunitas berada dalam perlindungan tetua adat.Â
Sebab, tetua adatlah yang memiliki peran menghubungkan manusia dengan sesamanya manusia, alam dan juga roh leluhur dan sang Realitas Tertinggi. Karena itu, tetua adat memiliki posisi strategis di setiap komunitas adat dan budaya orang Papua.
Seorang tetua adat memiliki hati bersih. Sebab, ia bertindak sebagai pengantara antara yang profan dan sakral. Tanpa, hati bersih, tetua adat tidak memiliki daya magis, kekuatan alamiah berkomunikasi dengan alam dan leluhur. Seorang tetua adat memegang erat kewajiban berupa pantangan yang tidak boleh dilakukannya demi menjaga harnomi dirinya dengan alam dan leluhur.
Peran tetua adat diperoleh seturut kebiasaan di setiap suku. Ada suku yang mewariskan peran-peran tetua adat secara turun-temurun sesuai garis adat. Ada pula berdasarkan pemilihan oleh tetua adat berdasarkan kecakapan dan kemampuan mengelola komunitas adat.Â
Apa pun kriterianya, seorang tetua adat diharapkan menjadi penghubung manusia dengan manusia, alam, leluhur dan sang Realitas Tertinggi. Karena itu, seorang tetua adat harus memiliki hati bersih, sederhana, rendah hati dan terbuka mau "memeluk" seluruh anggota komunitas tanpa membeda-bedakannya! Aspek keteladanan hidup baik mutlak melekat pada diri tetua adat.
Kehadiran Gereja, semestinya berdampak sangat positif. Sebab, tetua adat memiliki rekan sekerja dalam memelihara masyarakat adat. Bersama Uskup, Pastor dan Pendeta, para tetua adat dapat memastikan kondisi hidup warga anggota komunitasnya selamat, hidup damai sejahtera.
 Uskup, Pastor, Pendeta "Gembala" untuk Papua
Situasi Papua saat ini tidak menguntungkan dari aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan keamanan. Orang Papua tidak bebas menjadi dirinya sendiri. Sebab, ekspresi menuntut keadilan dan kebebasan selalu dilihat sebagai bentuk makar dan separatis!
Di tanah Papua, Uskup, Pastor dan Pendeta selaku "Gembala" Â memiliki tanggung jawab moral terlampau berat untuk melindungi, memelihara dan merawat kawanan "domba" yang menderita itu.Â
Pilihan sikap berpihak pada orang Papua akan menimbulkan kecurigaan sebagai pendukung Papua Merdeka. Pilihan sikap diam, netral hanya menambah luka Papua. Dilema semacam ini, mendorong pada "Gembala" untuk meneguhkan hatinya dan menyatakan sikapnya!
Seyogianya, "Gembala" tak memiliki pilihan. Sebab, sejak menerima rahmat tahbisan Imamat suci, para "Gembala" telah mengikrarkan kesetiaan kepada Yesus.Â
Dia adalah Gembala yang baik! Karena itu, kegembalaan Yesus melekat di dalam diri para utusan-Nya saat ini. Karena itu, menjadi "Gembala" di Papua berarti siap sedia berpihak kepada orang Papua, yang berarti melintasi jalan penderitaan!
Kekhasan menjadi "Gembala" di Papua yaitu terpenuhinya  sabda Yesus, "Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala." (Lukas 10:3). Berkarya melayani orang Papua penuh tantangan dan risiko.Â
Gembala yang baik, tidak akan pernah lari meninggalkan domba-dombanya. Karena itu, menjadi "Gembala" di Papua membutuhkan sikap rela berkorban dan selalu siap sedia diterkam serigala demi melindungi domba-domba agar selamat. Â
Menjadi "Gembala" ideal yang dirindukan orang Papua dengan bersuara menentang pembunuhan terhadap orang Papua. Ia berani menolak perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit, tanaman industri serta pertambangan yang merusak alam Papua.Â
Ia tidak bersekutu dengan penguasa untuk menindas Papua! Suara kenabiannya bergema menembus mata yang buta dan telinga yang tuli terhadap penderitaan orang Papua.
Tetua Adat  dan "Gembala" Kolaborasi untuk Selamatkan PapuaÂ
Penderitaan Papua menggugah para pihak untuk berkolaborasi. Tak ketinggalan, adat dan Gereja. Sebab, keduanya telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup orang Papua. Adat dan Gereja berkolaborasi demi merawat hidup dan masa depan Papua.
Orang Papua hidup di dalam komunitas adat dan rumah Gereja. Keduanya, semestinya memberikan jaminan akan hidup dan masa depan yang lebih baik bagi orang Papua. Di dalam komunitas adat dan Gereja, orang Papua menjadi lebih baik.
Orang Papua bisa hidup aman, damai, sejahtera lahir dan batin. Tetapi, saat ini impian dan harapan itu tidak terwujud. Sebab, orang Papua sedang menderita. Suasana hidup damai sejahtera masih terlalu jauh dari orang Papua.
Bagaimana Uskup, Pastor, Pendeta, tetua adat melihat penderitaan orang Papua ini? Apa sikap dan tindakan yang perlu dilakukan untuk melindungi orang Papua?
Para "Gembala" termasuk tetua adat dapat melihat dan mengalami penderitaan orang Papua bilamana mereka tinggal bersama! Mustahil tanpa tinggal bersama, "Gembala" dan tetua adat dapat merasakan dan memahami penderitaan orang Papua. Karena itu, unsur paling hakiki dalam memahami penderitaan orang Papua adalah tinggal bersama.
Saat ini, orang Papua, baik yang tinggal di kota-kota maupun di kampung-kampung terpencil sulit mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan ekonomi yang berkualitas. Di kampung-kampung, ada Puskesmas Pembantu (Pustu) tetapi tidak ada tenaga medis.Â
Kalau orang Papua di pelosok itu sakit, mereka kan berobat ke mana? Demikian halnya, anak-anak balita dan ibu hamil masih menderita gizi kurang dan gizi buruk. Â
Anak-anak usia sekolah dasar dan menengah tidak bisa bersekolah karena sekolah tutup. Para Guru tidak tinggal di kampung. Mereka tinggal di kota-kota. Kalau anak-anak Papua tidak bersekolah, bagaimana dengan kualitas sumber daya manusia orang Papua ke depan?
Bagaimana dengan kondisi ekonomi keluarga-keluarga orang Papua? Kita melihat bahwa orang Papua bukan miskin, melainkan sangat kaya, tetapi pengaturan keuangan yang masih sangat minim. Uang yang diperoleh dihabiskan untuk belanja makan dan minum serta hiburan. Akibatnya, tidak ada tabungan untuk biaya kebutuhan keluarga.
Para "Gembala" dan tetua adat melihat kondisi hidup orang Papua ini. Bagaimana menguarai benang kusut penderitaan orang Papua ini?
Perlindungan berbasis adat. Tetua adat memiliki peran strategis. Tetua adat mengetahui persis jumlah anggotanya beserta dengan segala kebutuhannya masing-masing.Â
Tindakan perlindungan perlu dilakukan mulai dari dalam keluarga-keluarga. Tetua adat dengan segala kewenangannya mesti mmemastikan bahwa tak ada satu pun anggota komunitasnya menderita, melarat dan mati sia-sia.
Gereja melalui Uskup, Pastor dan Pendeta mengambil bagian penuh dalam usaha perlindungan orang Papua ini. Para "Gembala" memperkuat peran tetua adat melalui kehadirannya sekaligus memberikan motivasi yang berguna bagi pertumbuhan kesadaran untuk melindungi keluarga-keluarga orang Papua. Komunitas Gereja sungguh-sungguh "memeluk" orang Papua!
Pada akhirnya, adat dan Gereja perlu berjalan bersama. Sebab, subjek penggembalaan, baik di komunitas adat maupun Gereja sama yaitu orang Ppapua. Karena itu, keduanya berjalan bersama untuk memastikan bahwa orang Papua selamat, di sini di dunia dan kelak pada waktu Tuhan tiba. [Nabire, 19 Februari 2022; 09.37 Â WIT]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H