Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merawat Api Aktivisme Robert Jitmau

5 Desember 2021   11:41 Diperbarui: 5 Desember 2021   11:56 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pada diri Rojit, saya menemukan hakikat eksistensi dan esensi hidup orang asli Papua. Dia menampilkan sisi kesejatian hidup sebagai orang asli Papua. Dia berjuang menegakan keadilan ekonomi dan hak asasi manusia orang asli Papua. Keberpihakannya, tidak dalam kata-kata, tetapi nyata di dalam kehadirannya bersama Mama-Mama Papua yang berjualan di tengah kota Jayapura. Namanya, layak diabadikan pada pasar Mama-Mama Papua. Dia juga layak diangkat menjadi Bapak pejuang ekonomi orang asli Papua. Generasi Papua perlu merawat dan meneruskan api aktivisme ekonomi dan hak asasi manusia yang telah dinyalakan Rojit." [Petrus Pit Supardi]

Hari sudah larut malam. Sebuah pesan masuk di messenger. "Saya minta nai tuliskan epilog selama Rojit di SKP. Kerja dengan dia selama perjuangan awal, dari pola pengorganisasian, bagaimana Rojit menempatkan Mama-Mama sebagai pejuang dan kematiannya." Pesan ini dikirim oleh Sahabat saya, Natan Tebay, pada 15 Oktober 2021, pukul 21.01 WIT.

Robert Jitmau. Laki-laki dengan perawakan tubuh tinggi dan gemuk. Kulit hitam. Rambut keriting. Sehari-hari, rekan-rekan sejawat, para aktivis menyapa dengan panggilan, Rojit. Ia selalu menebar senyum. Selama bekerja bersama Rojit, sejak bulan Agustus 2008 di kantor SKP Keuskupan Jayapura sampai hari wafatnya, 20 Mei 2016, saya tak sekalipun melihat Rojit marah.

Bagaimana kiprah Robert Jitmau dalam advokasi pasar Mama-Mama Papua? Bagaimana jiwa aktivisme Robert Jitmau mendasari perjuangan advokasi pasar untuk Mama-Mama Papua? Bagaimana "jalan pulang"nya yang meninggalkan misteri? Apa pesan penting dari semangat Robert Jitmau untuk generasi Papua?

1. Sekilas Kerja Bersama Robert Jitmau  

 Saya pertama kali bertemu dengan Kaka Robert Jitmau (Rojit) pada bulan Agustus 2008. Pada waktu itu, saya masih mahasiswa tingkat II, di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT Fajar Timur) Abepura. Saya melaksanakan Tahun Orientasi Karya (TOK) di kantor Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura. Selama melaksanakan TOK, saya tinggal di biara Santo Fransiskus, APO. 

Saat itu, SKP Keuskupan Jayapura dipimpin oleh Bruder J. Budi Hernawan OFM. Para staf yang bekerja yaitu Bruder Rudolf Kambayong OFM, Kaka Frederika Korain, Kaka Rosa Moiwend, Bapak Neles Siep, Bapak Untung Dien, Kaka Robert Jitmau dan Kaka Herman Katmo. Kemudian, datang juga kawan aktivis, Flory Koban, yang membantu di unit informasi dan data.

Waktu itu, sebagai staf magang, saya berkeliling dari satu unit ke unit lain. Unit publikasi informasi dan data, unit penguatan basis, unit advokasi dan unit keuangan. Saya ingat Kaka Rojit mendapat tugas di unit penguatan basis. Unit itu, dipimpin oleh Bruder Rudolf. Salah satu tugasnya adalah mengorganisir kelompok Mama-Mama Papua yang berjualan di depan swalayan Gelael, Jalan Irian, Jalan Percetakan, Jalan Ahmad Yani, taman Mesran. Saya mendapat kesempatan dari Bruder Budi, selaku direktur SKP saat itu, agar menemani Kaka Rojit untuk urusan pendampingan bagi Mama-Mama Papua.

Di ruang kerja kantor SKP Keuskupan Jayapura, Kaka Rojit memiliki komputer sendiri. Dia bekerja dari pagi sampai sore. Pada saat pulang kantor, hari sudah menjelang malam. Kaka Rojit singgah di tempat Mama-Mama Papua berjualan, di tepi jalan/trotoar dan di emperan toko. Saya baru bisa ke Mama-Mama Papua di depan Galael sampai Jalan Ahmad Yani, setelah makan malam di komunitas Santo Fransiskus APO. Pendekatan awal, kami berusaha mengenal karakter Mama-Mama Papua. Sebab, Mama-Mama berasal dari Paniai, Wamena, Biak, Serui, Jayapura, yang memiliki karakter masing-masing.

Mama-Mama Papua menjual sayur, buah-buahan, ikan asar dan roti. Pada saat mengunjungi mereka, kami membawa koran. Kami berikan kepada Mama-Mama penjual ikan. Mereka pakai untuk bungkus ikan asar.

Kami di lapangan, tidak bekerja sendiri. SKP Keuskupan Jayapura memiliki relawan. Saya masih ingat Zakarias Takimai, Rosa Hilapok, Mince Siriwa, Afila Waroy. Kami bertugas mendata Mama-Mama Papua yang berjualan di depan swalayan Galael, Jalan Ahmad Yani, Jalan Percetakan, depan Bank Papua, Klofkamp dan terminal Mesran. Kaka Rojit mengkoordinir proses pendataan Mama-Mama Pedagang Asli Papua di kota Jayapura ini.

Data-data Mama-Mama lengkap. Nama dan pas foto tersedia. Berbekal data-data tersebut, Bruder Budi, Kaka Frederika Korain, Kaka Rosa Moiwend, Kaka Miriam Ambolon (waktu itu anggota DPRP), Kaka Pendeta Dora Balubun menyuarakan pentingnya pasar untuk Mama-Mama Papua di tengah kota Jayapura.

Bagaimana proses pengorganisasian Mama-Mama Papua ini bisa berjalan efektif? Saya ingat sosok, Bapa Roem Topatimasang dari kantor INSIST Yogyakarta. Waktu itu, dia menjadi konsultan SKP Keuskupan Jayapura. Dia selalu memberikan ilmu teknik pengorganisasian kelompok basis. Ilmu itu, diterapkan Kaka Rojit dan kami semua yang bekerja untuk mendampingi Mama-Mama.

Saya  ingat, hampir setiap malam kami pergi ke Mama-Mama di depan swalayan Galael, Jalan Irian, Jalan Ahmad Yani dan Jalan Percetakan. Setelah mendampingi  Mama-Mama, kami biasa kumpul di taman Imbi, sekedar sharing dan berbagi informasi. Setiap hari Minggu, Mama-Mama berkumpul di aula Gereja Katolik Santo Fransiskus APO. Kaka Rojit bikin surat undangan. Mama-Mama datang dan berbicara/berdiskusi terkait upaya bersama untuk mendapatkan pasar yang layak di tengah kota Jayapura. Bruder Rudolf Kambayong OFM, Kaka Rosa Moiwend, Kaka Frederika Korain dan Kaka Mariam Ambolon biasa hadir di pertemuan-pertemuan rutin mingguan ini.

Advokasi pasar meluas. Rojit melibatkan kawan-kawan aktivis hak asasi manusia di Garda Papua. Datanglah Frengky Warer, Cyntya Warwe, Sem Awom, dan kawan-kawan lainnya. Aksi seribu rupiah untuk Mama-Mama Papua digelar di tepi jalan sampai aksi panggung melibatkan komunitas rasta kribo Papua. Rojit mengkoordinir semua kegiatan itu dengan sangat  baik.  

 

2. Api Aktivisme Robert Jitmau

 Rojit memiliki sisi berbeda dengan manusia pada umumnya. Apa yang membuat dia berbeda? Dia sederhana dan rendah hati. Murah senyum. Setia mendengarkan. Pilihan sikap hidupnya berpihak pada orang-orang lemah dan tertindas.

Jiwa aktivisme Rojit tidak terungkap melalui kata-kata! Melainkan, nyata di dalam pilihan sikap dan tindakannya untuk berada pada posisi Mama-Mama Pedagang Asli Papua di tengah kota Jayapura yang termarginal! Sejak saya mengenal Rojit, pada bulan Agustus 2008, sampai hari wafatnya, saya mengalami bahwa seluruh diri, tubuh, jiwa dan raga Rojit dibaktikannya untuk Mama-Mama Papua.

Sampai hari ajal menjemputnya, saya tidak melihat Rojit memiliki harta berharga semacam motor, apa lagi mobil. Dia pakai hand phone sederhana. Celana pendek. Kaos oblong. Sandal jepit.  Dalam rapat resmi di DPRP atau kantor Gubernur, barulah dia mengenakan celana panjang dan kemeja berkerah!

Saya ingat, pada waktu kantor SKP Keuskupan Jayapura, berubah menjadi kantor Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua dan pindah ke Sentani, tahun 2010, Rojit pakai motor honda tua. Setiap hari, dengan motor yang sering rusak itu, di pergi-pulang Sentani, Waena, kota Jayapura. Perjalanan jauh, dari Sentani ke kota Jayapura dengan motor honda tua, tak pernah menyurutkan niatnya mendampingi Mama-Mama Papua.

Pada tahun 2009, beban kerja Rojit semakin besar. Pemerintah provinsi Papua membangun pasar sementara untuk Mama-Mama Papua. Pada saat peresmian pasar sementara itu, pada tanggal 20 Desember 2009, Gubernur Barnabas Suebu memberikan dana hibah 1 miliar. Dana itu, dalam bentuk satu unit mobil truk untuk antar jemput Mama Papua dan uang tunai 600 juta untuk pembinaan.

Bagaimana kelola dana sebesar itu? Bruder Rudolf, Kaka Miriam Ambolon,  Rojit, dan kawan-kawan SOLPAP menggelar rapat dan membentuk Koperasi Pasar Mama-Mama Pedagang Asli Papua (KOMMPAP). Rojit harus mengawal koperasi ini. Ia mendampingi Mama-Mama sekaligus harus mengawasi operasional koperasi yang baru lahir ini.

Dalam perjalanan waktu, koperasi yang bergerak untuk unit simpan pinjam dan kios ini, tidak berjalan efektif. Dana 600 juta seakan hilang. Dalam sebuah rapat terbuka di tengah-tengah pasar sementara, tahun 2014, Mama-Mama bilang, "Kami tidak mau kembalikan uang yang kami pinjam, karena laporan tidak jelas." Rojit hadir di rapat itu. Dia berusaha menjelaskan kepada Mama-Mama terkait operasional koperasi. Dia tidak pernah marah dan tersinggung terhadap segala bentuk kritik dan protes terhadap dirinya. Dia menyikapi segala bentuk kritik terhadap dirinya dengan senyum khasnya.

*****

Advokasi pasar Mama-Mama Papua, dilakukan secara intensif sejak tahun 2007, melalui wadah Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP), yang diinisiasi SKP Keuskupan Jayapura, JPIC GKI Tanah Papua, Foker LSM Papua, tokoh individu seperti Pater Neles Tebay, Pendeta Beny Giay, dll. Sejak SOLPAP terbentuk, Rojit menjadi Sekretaris. Dia terlibat penuh mulai urusan surat-menyurat sampai pendampingan Mama-Mama di pasar. Karena itu, Rojit menjadi ikon perjuangan Mama-Mama Papua untuk mendapatkan pasar yang layak di tengah kota Jayapura.

Rojit telah menyalakan api semangat merebut kedaulatan ekonomi orang asli Papua yang terempas lantaran derasnya arus migrasi orang pendatang ke tanah Papua dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada orang asli Papua. Mimpi besar Rojit adalah orang asli Papua mendapatkan hak-haknya di bidang ekonomi. Ada perlindungan terhadap aktivitas ekonomi orang asli Papua. Bagi Rojit, pintu transformasi ekonomi orang asli Papua ada di hati perempuan, Mama-Mama Papua. Karena itu, kalau mau merebut dan menguasai ekonomi, berikan perhatian pada perempuan, Mama-Mama Papua yang sudah memiliki jiwa berdagang/berbisnis!

 

3. Pergi dalam Sunyi

 "Pit, saya di Biak. Ada ikut pelantikan wakil Bupati Biak. Jadi, ko ganti saya hadir di diskusi tentang Pasar Mama-Mama Papua di TV Papua, karena ko juga ikuti sejak awal proses advoksi pasar itu," tutur Rojit dari Biak melalui saluran telpon. Saya bilang, "Kaka, hormat. Saya tau proses advokasi pasar Mama-Mama Papua itu. Tapi, saya lebih suka dan minta supaya kaka cari kita pu kawan anak Papua yang omong, bukan saya!" Setelah "baku melawan" di telpon itu, Rojit mengalah. Dia minta salah satu, perempuan Papua yang aktif di pasar Mama-Mama Papua mewikili dirinya dalam diskusi itu. Itulah percakapan saya yang terakhir dengan Rojit pada awal bulan Mei 2016, saat dirinya berada di Biak. 

Pada hari Jumat, 20 Mei 2016, pada pagi hari, saya mendapat kabar dari Direktur SKPKC Fransiskan Papua, Kaka Yuliana Langowuyo bahwa Rojit meninggal. Jenasahnya ada di Rumah Sakit Bhayangkara. Saya tidak percaya! Baru dua minggu lalu, kami bicara lewat telpon. Percakapan di messenger terakhir pada tanggal 3 Mei 2016.

Saya bergegas ke Rumah Sakit Bhayangkara. Saya langsung pergi ke kamar jenasah! Saya melihat kantong jenasah. Saya membukanya! Rojit terbujur kaku. Ada luka pada pelipis matanya. Darah segar masih mengalir dan tergenang pada kantong jenasah itu.

Saya punya badan keram. Tangis memecah kebisuan pada pagi menjelang siang itu. Dengan berlinang air mata, saya bertanya, "Kenapa kaka pergi model ini? Kenapa kaka?" Membisu. Tak ada jawaban apa pun.

Rojit bukan hanya seorang aktivis dan rekan kerja. Dia seorang kakak. Karena alasan itulah, saya sering marah padanya. "Kaka, ko stop dengan kelakuan minum mabuk itu!" Berulang kali saya memarahinya. Dia selalu menanggapinya dengan santai, "Pit, sedikit saja. Jangan marah-marah."

Di ring road, Hamadi, kota Jayapura, pada subuh, Jumat, 20 Mei 2016, Robert Jitmau terkapar tak berdaya. Ia dibunuh. Siapa pembunuhnya? Apa motivasinya? Sampai saat ini tetap tinggal sebagai sebuah misteri.

****

Saudara maut menjemput Robert Jitmau pergi lebih cepat. Ada banyak gagasan dan idenya yang belum terwujud. Kita berharap api aktivisme Rojit, khususnya gerakan merebut kembali ekonomi orang asli Papua tetap menyala. Generasi muda Papua perlu menimba semangat kesederhanaan dan kesetiaan Rojit  dalam mendampingi Mama-Mama Papua di kota Jayapura.

Kesan paling mendalam dari pribadi Rojit adalah sederhana, setia, terbuka dan tidak mencari jabatan, harta dan kekayaan di atas penderitaan kaumnya, orang asli Papua. Rojit selalu berjuang agar orang Papua bisa mandiri mengelola ekonominya. Sebab, sebagai seorang aktivis terpelajar, Rojit mengetahui bahwa masa depan suatu bangsa sangat ditentukan oleh ekonomi rakyatnya. Apabila, kita mau rakyat Papua hidup sejahtera, maka rebut ekonominya! Kuasai pasar!

Kepada semua pihak, rekan kerja, rekan aktivis, Mama-Mama Papua di kota Jayapura, secara pribadi saya menyampaikan limpah terima kasih atas perjalanan kita bersama Rojit. Kita berdoa, semoga Rojit bahagia di Surga. Kita tetap meneruskan perjuangannya: "merebut dan menguasai pasar!" demi masa depan Papua yang lebih baik. [Nabire, 20 November 2021].

Catatan: Tulisan ini akan dimuat pada bagian epilog buku tentang Robert Jitmau, yang sedang dikerjakan oleh Natan Tebay.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun