Papua sedang terluka. Luka besar, bernanah dan mengeluarkan aroma tak sedap. Luka itu menimbulkan rasa sakit luar biasa. Tidak jarang, luka itu mengantar pada kematian di usia dini. Itulah wajah Papua yang sedang terluka parah.Â
Luka itu sudah berusia setengah abad lebih, sejak Papua masuk dan tinggal di dalam rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Luka itu tidak pernah diobati. Kini, luka Papua semakin membesar, menganga lebar dan mengalirkan darah, nanah, dan air mata tak berkesudahan.
Mengapa Papua terluka? Siapa yang melukai Papua? Bagaimana menyembuhkan Papua yang terluka itu?
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam buku Papua Road Map yang terbit tahun 2009 mencatat Papua terluka karena empat penyebab yaitu 1) Sejarah integrasi Papua, 2) Pelanggaran Hak Asasi Manusia, 3) Masalah pembangunan dan 4) Marginalisasi orang Papua.Â
Keempatnya melejit dalam kecepatan tinggi dari keempat arah mata angin menyerang dan melukai Papua. Seketika, anak panah tertancap pada tubuh Papua. Terluka. Berdarah. Bengkak. Bau busuk menyengat. Kematian kian mendekat.
Papua memiliki sejarahnya sendiri. Pada tanggal 1 Desember 1961, orang Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora diiringi lagu, "Hai Tanahku Papua". Burung Mambruk menjadi lambang negara. Papua pernah merdeka selama delapan belas hari.Â
Kemudian, pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Tri Komando Rakyat (Trikora) sebagai jawaban terhadap proklamasi kemerdekaan Bangsa Papua Barat. Sejak saat itu sampai sekarang, operasi militer tumbuh, hidup dan berkembang biak di tanah Papua.
Papua bak gadis cantik. Ia diperebutkan oleh Belanda, Indonesia dan Amerika. Di negeri nun jauh, di New York, pada 15 Agustus 1962, nasib Papua ditentukan oleh ketiga negara tersebut, tanpa melibatkan orang Papua. Kini, setiap tanggal 15 Agustus, orang Papua memperingati Perjanjian New York.Â
Salah satu isi perjanjian itu adalah akan dilaksanakan penentuan pendapat bagi rakyat Papua (Pepera), "satu orang satu suara" apakah mau merdeka atau bergabung dengan Indonesia. Selain itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan "turun tangan" dalam urusan Papua sampai pelaksanaan Pepera.Â
Maka, pada 1 Oktober 1962, Papua berada dalam United Nations Temporary Executive (UNTEA), melalui administratornya, Â Jose Rolz Bennet. UNTEA hanya tujuh bulan berada di Papua. Pada 1 Mei 1963, pemerintahan Papua diserahkan kepada Indonesia, untuk selanjutnya mempersipkan pelaksanaan Pepera.
Narasi Pepera Papua, tanggal 14 Juli-2 Agustus 1969 sangat melukai hati orang Papua. Saat itu, penduduk Papua 809.337 jiwa, tetapi peserta Pepera hanya 1.025 orang. Mereka tergabung dalam Dewan Musyawarah Pepera (DMP), yang secara aklamasi memutuskan bahwa Papua bergabung dengan Indonesia.Â