Narasi rasisme terhadap orang Papua masih berlanjut. Demonstrasi menentang rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, pada Agustus 2019 menyebabkan mahasiswa dan aktivis Papua ditangkap, ditahan dan sedang menjalani proses persidangan. Ironisnya, para mahasiswa dan aktivis itu ditahan di Balik Papan, Kalimantan Timur. Mereka menjalani proses persidangan di sana.Â
Di tempat pembuangan itu, datang kabar melukai hati orang Papua. Pada 3 Juni 2020, Buktar Tabuni dituntut Jaksa Penutut Umum (JPU) dengan hukuman penjara 17 tahun; sedangkan Irwanus Uropmabin dituntut 5 tahun penjara. Pada 5 Juni 2020, JPU menuntut Agus Kossay 15 tahun; Steven Itlay 15 tahun; Alex Gobay 10 tahun; Fery Kombo 10 tahun dan Hengky Hilapok 5 tahun penjara.Â
Sedangkan para pelaku rasis di Surabaya, yang menyulut api demonstrasi menolak rasis di Papua hanya menjalani hukuman ringan, 7 bulan penjara. Kita menyaksikan bahwa proses hukum terhadap orang Papua pun bersifat rasis. Siapakah sebenarnya orang Papua itu?
Pikiran, perilaku dan tindakan rasis merupakan penyangkalan terhadap kodrat penciptaan manusia dan alam semesta. Perbuatan rasis melawan kemanusiaan kita sebagai makhluk berakal budi dan berhati nurani.
Hanya manusia yang otak dan hati nuraninya telah tertutup kabut tebal yang dapat melakukan tindakan rasis.
Manusia normal (waras) tidak akan melakukan perbuatan rasis, baik di dalam pikiran, hati maupun dalam tingkah laku hidupnya. Sebab, bertolak belakang dengan eksistensinya sebagai manusia bermartabat luhur.
Rasisme ditolak oleh manusia dan alam semesta karena merendahkan martabat pribadi manusia yang luhur dan mulia di hadapan sang Pencipta. Rasisme ditolak karena merupakan pembunuhan karakter pribadi manusia. Rasisme juga ditolak karena menyangkal kesetaraan martabat pribadi manusia.Â
Segala bentuk pikiran, perilaku dan tindakan rasis bertentangan dengan kodrat penciptaan manusia, yang sama dan sederat di hadapan sang Pencipta.
Karena itu, menolak rasisme merupakan upaya mencegah keterpecahan manusia, sekaligus merangkul manusia supaya hidup sebagai Saudara sepenciptaan, tanpa saling merendahkan satu sama lain.
Kasus rasisme yang dialami oleh orang Papua telah mencabik-cabik kemanusiaan kita. Kita seperti sedang bercermin pada cermin yang telah hancur tidak beraturan.
Kita sedang melihat wajah kita yang terpecah dan terluka akibat sikap tamak, sombong, angkuh dan ingin menguasai sesama. Rasisme telah merusak wajah kita yang utuh.