Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merefleksikan Kemanusiaan Kita dan Rasisme terhadap Orang Papua

8 Juni 2020   12:19 Diperbarui: 9 Juni 2020   08:01 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agats, Selasa, 2 Juni 2020. Dokumentasi Erold Msen.

Siapakah manusia? Manusia apa pun jenis kelamin, ras, budaya, agama dan status sosialnya memiliki martabat luhur. Kita meyakini bahwa manusia merupakan gambar dan rupa sang Pencipta. 

Dari semua makhluk ciptaan, hanya manusia yang memiliki akal budi dan hati nurani. Melaluinya, manusia dapat mengelola hidupnya, baik sebagai makhluk individu maupun sosial.

Karena itu, ketika di dalam relasi sosial, kita merendahkan martabat pribadi sesama manusia, termasuk merusak alam ciptaan, maka kita sebenarnya sedang merusak wajah sang Pencipta yang telah menciptakan kita.  

Di tengah pandemi virus corona, tiba-tiba seluruh sorot mata tertuju ke Amerika Serikat. Seorang polisi kulit putih, Derek Chauvin menindih leher seorang pemuda kulit hitam dengan lututnya. 

Kata-kata terakhir pemuda itu, "Saya tidak bisa bernapas," tidak melunakkan hati polisi itu. Akhirnya, pemuda itu tewas mengenaskan. Dia adalah George Floyd.

Kematiannya memicu demonstrasi besar di Amerika Serikat. Orang Amerika Serikat, baik kulit hitam maupun putih turun ke jalan untuk menentang tindakan polisi yang rasis itu. 

Narasi rasisme di Amerika Serikat terlalu jauh. Kita perlu mengarahkan pandangan ke tanah Papua. Pada bulan Agustus 2019, Papua bergejolak.

Kasus rasisme terhadap mahasiswa di Surabaya menyulut api demonstrasi protes di tanah Papua. Orang Papua turun ke jalan-jalan melakukan long march dan menolak rasisme. Orang Papua tidak terima pada kata-kata rasis yang terlontar, "monyet" kepada mahasiswa Papua yang tinggal di asrama mahasiswa di Surabaya. 

Peristiwa di Surabaya itu hanya satu dari sekian kasus rasisme lainnya yang dialami orang Papua sejak diintegrasikan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Pepera 1969, yang hanya diikuti oleh 1.025 orang dari 809.337 jiwa orang Papua saat itu, (Djopari: 75).

Kasus rasis di Papua terjadi lantaran Papua dan Indonesia, dari segi ras dan kebudayaan berbeda. Indonesia umumnya ras melayu sedangkan Papua ras melanesia.

Keduanya, memiliki keunikan masing-masing seturut kodrat penciptaannya. Tidak ada manusia yang minta dilahirkan sebagai pribadi yang memiliki fisik kulit hitam, rambut keriting yang diidentifikasi sebagai ras melanesia. 

Demikian halnya, tidak ada orang yang menginginkan terlahir sebagai pribadi yang memiliki rambut lurus, dan berkulit sawo matang atau putih, yang mengidentifikasi diri sebagai ras melayu.

Keduanya, baik kulit hitam dan rambut keriting maupun kulit putih dan rambut lurus, baik ras melanesia maupun ras melayu memiliki martabat yang luhur dan mulia di hadapan sang Pencipta.

Fransiskus Asisi berkata, "Sebab, nilai hidup seseorang adalah nilai orang itu di hadapan sang Pencipta, tidak lebih." Dalam refleksinya, ia menemukan bahwa, "Kita semua adalah makhluk ciptaan. Kita semua berdosa. Kita semua ditebus oleh Putera Allah." Kita rapuh, lemah dan berdosa, tetapi sang Pencipta mengasihi kita.

Rasisme terhadap orang Papua, membawa kita pada pertanyaan, "Siapakah manusia orang Papua? Mengapa orang Papua selalu mendapatkan perlakuan rasis dari sesamanya, di dalam Negara yang menempatkan Tuhan, sang Pencipta sebagai yang pertama dan utama dalam dasar Negara, Pancasila, Sila Pertama: "Ketuhanan Yang Maha Esa? Apa yang salah dengan orang Papua yang memiliki ras melanesia, kulit hitam dan rambut keriting?"

Selama ini, orang Papua selalu mendapatkan perlakuan tidak adil hampir dalam segala aspek kehidupan. Kita bisa menyusuri dan menyaksikan di kampung-kampung di tanah Papua. 

Di sana, kita dapat melihat pelayanan kesehatan, pendidikan, ekonomi dan tata kelola kampung yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Orang Papua hidup menderita. Kemanusiaan orang Papua dianggap lebih rendah sehingga segala penderitaan orang Papua tidak menggerakkan pengambil kebijakan untuk bertindak melindungi dan menyelamatkan orang Papua.

Anak-anak Papua tidak sekolah dianggap biasa. Anak-anak Papua gizi buruk dianggap biasa. Orang Papua tidak memiliki kios dan toko dianggap biasa. Orang Papua mati karena malaria, TBC, HIV-AIDS dan minuman keras (miras) dianggap biasa. Orang Papua mati ditembak aparat negara dianggap biasa. Bahkan operasi militer di Papua, pada zaman ini, sebagaimana yang terjadi di Nduga dianggap biasa-biasa saja.

Orang Papua mengalami perlakuan rasis lantaran memiliki kulit hitam dan rambut keriting. Kedua ciri fisik tersebut diidentikan dengan pemalas, pemabuk, pencuri, pemberontak, separatis dan lain sejenisnya.

Padahal, kulit hitam dan rambut keriting tidaklah demikian, tetapi kebodohan telah merasuki otak dan hati nurani para pelaku rasis sehingga pikiran rasial menghilangkan segala kebaikan yang termaktub di dalam diri dan pribadi manusia orang Papua.

Kita menyaksikan bahwa perlakuan rasis terhadap orang Papua telah menjalar ke dalam seluruh ruang hidup orang Papua. Rasisme terhadap orang Papua seperti kanker yang menyebar cepat dan membunuh orang Papua secara perlahan tetapi pasti. Rasisme menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup dan masa depan orang Papua. Karena itu, orang Papua bangkit melawan setiap bentuk pikiran dan tindakan rasis yang dialamatkan kepada mereka.

Narasi rasisme terhadap orang Papua masih berlanjut. Demonstrasi menentang rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, pada Agustus 2019 menyebabkan mahasiswa dan aktivis Papua ditangkap, ditahan dan sedang menjalani proses persidangan. Ironisnya, para mahasiswa dan aktivis itu ditahan di Balik Papan, Kalimantan Timur. Mereka menjalani proses persidangan di sana. 

Di tempat pembuangan itu, datang kabar melukai hati orang Papua. Pada 3 Juni 2020, Buktar Tabuni dituntut Jaksa Penutut Umum (JPU) dengan hukuman penjara 17 tahun; sedangkan Irwanus Uropmabin dituntut 5 tahun penjara. Pada 5 Juni 2020, JPU menuntut Agus Kossay 15 tahun; Steven Itlay 15 tahun; Alex Gobay 10 tahun; Fery Kombo 10 tahun dan Hengky Hilapok 5 tahun penjara. 

Sedangkan para pelaku rasis di Surabaya, yang menyulut api demonstrasi menolak rasis di Papua hanya menjalani hukuman ringan, 7 bulan penjara. Kita menyaksikan bahwa proses hukum terhadap orang Papua pun bersifat rasis. Siapakah sebenarnya orang Papua itu?

Pikiran, perilaku dan tindakan rasis merupakan penyangkalan terhadap kodrat penciptaan manusia dan alam semesta. Perbuatan rasis melawan kemanusiaan kita sebagai makhluk berakal budi dan berhati nurani.

Hanya manusia yang otak dan hati nuraninya telah tertutup kabut tebal yang dapat melakukan tindakan rasis.

Manusia normal (waras) tidak akan melakukan perbuatan rasis, baik di dalam pikiran, hati maupun dalam tingkah laku hidupnya. Sebab, bertolak belakang dengan eksistensinya sebagai manusia bermartabat luhur.

Rasisme ditolak oleh manusia dan alam semesta karena merendahkan martabat pribadi manusia yang luhur dan mulia di hadapan sang Pencipta. Rasisme ditolak karena merupakan pembunuhan karakter pribadi manusia. Rasisme juga ditolak karena menyangkal kesetaraan martabat pribadi manusia. 

Segala bentuk pikiran, perilaku dan tindakan rasis bertentangan dengan kodrat penciptaan manusia, yang sama dan sederat di hadapan sang Pencipta.

Karena itu, menolak rasisme merupakan upaya mencegah keterpecahan manusia, sekaligus merangkul manusia supaya hidup sebagai Saudara sepenciptaan, tanpa saling merendahkan satu sama lain.

Kasus rasisme yang dialami oleh orang Papua telah mencabik-cabik kemanusiaan kita. Kita seperti sedang bercermin pada cermin yang telah hancur tidak beraturan.

Kita sedang melihat wajah kita yang terpecah dan terluka akibat sikap tamak, sombong, angkuh dan ingin menguasai sesama. Rasisme telah merusak wajah kita yang utuh.

Bagaimana memulihkan orang Papua dari trauma akibat rasisme? Rasisme terhadap orang Papua akan berakhir tatkala ada pengakuan kesetaraan martabat pribadi manusia orang Papua, ras melanesia dan orang Indonesia, ras melayu, tanpa syarat dan prasangka apa pun.

Orang Papua berhak mendapatkan kembali hak-hak dasarnya sebagai pribadi manusia utuh, ras melanesia, kulit hitam dan rambut keriting, dengan seluruh budaya, ideologi dan hak-hak politiknya di atas tanah leluhurnya. Pengakuan terhadap eksistensi orang Papua merupakan jalan mengakhiri rasisme terhadap orang Papua.

Kemanusiaan kita menjadi tolok ukur memulihkan keterpecahan hidup orang Papua akibat rasisme. Sebagaimana kita sendiri tidak menerima perlakuan rasis, demikian halnya, kita tidak boleh berlaku rasis terhadap orang Papua dan terhadap siapa pun dengan alasan apa pun. Kemanusiaan kita harus menjadi standar memperlakukan sesama, termasuk orang Papua secara bermartabat. 

Selain itu, pengakuan kita terhadap sang Pencipta, yang menciptakan kita, seharusnya mengantar kita pada sikap dan tindakan belas kasih, saling menerima dan menghormati sebagai Saudara di dalam sang Pencipta.

Mengingat kemanusiaan kita sendiri dan sang Pencipta yang kita imani dan sembah, maka kita wajib memperlakukan orang Papua dan setiap pribadi manusia seturut martabatnya, tanpa merendahkannya. [7 Juni 2020; 12.30 WIT]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun