Cuaca di kota Agats mendung. Langit biru tertutup awan hitam pertanda akan hujan. Tim Pelatih Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Sekolah Dasar LANDASAN Papua, yang terdiri atas John Rahail, Tuning Supriyadi, Sutiyono, Suharto, Veronika W bersiap berangkat ke Distrik Akat dan Distrik Atsj.Â
Pukul 12.30 WIT, tim ke Distrik Atsj, yang terdiri atas John Rahail dan Tuning Supriyadi, Rika Paranduk (admin LANDASAN) dan Pit Supardi (Korkab LANDASAN Asmat) menuju pelabuhan Aswan menggunakan motor ojek. Biaya motor ojek adalah Rp 20.000 per orang. Apabila jaraknya jauh harga ojek menjadi Rp 50.000. Pukul 12.54 WIT tim berangkat ke Atsj menggunakan speed 85 PK. Speed dikemudikan oleh Randi. Biaya speed sebesar Rp 3.000.000.
Perjalanan ke Atsj menyusuri sungai. Berangkat dari pelabuhan Aswan menyusuri sungai Asuwets dan Jet. Speed melaju dengan kecepatan tinggi. Bulir air terempas dari baling-baling mesin 85 PK. Di tepi sungai berjejer pohon mangrove. Sesekali tampak burung beterbangan mengitari arus sungai.
Mendung masih menyelimuti langit. Di tengah perjalanan, hujan turun. Randi menghentikan speed. Pembantunya, yang duduk di dekat mesin mendirikan tenda. Sekejap, kami terlindung dari hujan. Speed kembali melaju. Ketika hujan redah, Randi kembali menghentikan speed. Tenda kembali dilipat, lalu kami meneruskan perjalan sampai di Atsj. Kami tiba di Atsj pukul 14.30 WIT.
Di Atsj, kami menginap di hotel Maranu. Letaknya, persis di tepi sungai Atsj. Biaya kamar tanpa TV per malam adalah 495.000. Sedangkan kamar yang ada TV 650.00 per malam. Meskipun biayanya terbilang mahal, tetapi tidak ada fasilitas memadai. Di kamar tidak ada selimut, tisu, sabun, handuk dan air minum mineral.Â
Demikian halnya, hotel ini tidak menyediakan sarapan pagi. Kami terpaksa menginap di hotel ini lantaran tidak ada penginapan lain di Atsj. Sebenarnya, kami bisa menginap di pastoran OSC Atsj, tetapi kamar-kamar di sana akan dipakai oleh tim dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Di Atsj listrik PLN menyala mulai pukul 18.00-06.00 WIT. Pada pagi sampai sore hari, apabila ada kebutuhan listrik, warga menggunakan mesin disel pribadi. Sebagaimana umumnya, penduduk asli Atsj tidak banyak yang dapat mengakses listrik, baik dari PLN maupun disel pribadi. Mereka tinggal di rumah-rumah sederhana, tanpa akses listrik. Kekayaan alam yang melimpah belum menjamin kesejahteraan hidup mereka.
Sore hari, pukul 16.00 WIT, kami pergi ke SD Inpres Atsj, tempat pelaksanaan kegiatan pelatihan SPM dan MBS untuk para guru. Di sekolah, kami bertemu dengan Kepala SD Inpres Atsj, Ibu Barbalina Toisuta. Kami mempersiapkan rangkaian acara pelatihan SPM, yang akan dimulai pada tanggal 14-16 Mei 2018. Pelatihan SPM akan dibuka oleh Kepala UPTD Pendidikan Distrik Atsj, Marius Ribo. Tuning, salah satu narasumber SPM memberi saran supaya ruang pelatihan diubah. Ada sebelas kelompok sesuai jumlah sekolah. Usai pertemuan itu, kami kembali ke hotel Maranu.
Dalam perjalanan pulang, kami singgah di pasar Atsj. Di sana, beberapa Mama Papua menjual sayur-mayur. Geliat perekonomian orang asli Papua masih redup. Orang pendatang menguasai pasar. Semua kios milik orang pendatang. Sedangkan Mama-Mama Papua berjualan hasil kebun, berupa sayur dan bumbu dapur. Ada pula yang menjual udang, ikan dan sagu. Mama-Mama Papua tidak menjualnya dalam jumlah banyak. Itulah kisah perjalanan hari Minggu, 13 Mei 2018.
Meneropong Atsj dari jarak dekat mengingatkan kita pada keterasingan orang Papua pada negerinya. Suatu negeri yang berlimpah susu dan madu, tetapi manusianya hidup miskin dan menderita. Alam telah menyediakan sumber makanan dan penghidupan bagi orang Asmat. Di dusun ada sagu, ikan, sayur-mayur, kayu besi dan berbagai binatang buruan. Di sanalah orang Asmat mengambil makanan. Mereka mendayung perahu atau menggunakan long boat ke dusun. Di dusun, mereka mengambil bahan makanan yang telah tersedia.
Seiring perjumpaan dengan dunia luar, suatu peradaban baru, orang Asmat terempas dari akar budaya dan penghidupannya. Budaya tukar menukar barang (barter) telah lenyap. Kini, sedang terjadi peralihan makan, dari sagu ke beras. Orang Asmat diperhadapkan pada pilihan, tetapi sebenarnya mereka dipaksa memilih beras, karena segala bantuan mengarah pada pola konsumsi instan, beras, supermi, kopi, gula dan rokok.